Top
  /     /   Kronik Seni

Pidato Seni Saras Dewi

Pidato Seni Dr. LG Saraswati Putri, M.Hum

Profil

Saras Dewi bernama lengkap Luh Gede Saraswati Putri lahir di Denpasar, Bali akrab dipanggil Yayas. Setelah mulai mengenal Plato saat SMA, usai lulus Yayas pun memilih Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia (UI). Dari sarjana hingga bergelar doktor, ia konsisten dalam mendalami filsafat. Tahun 2001 ia mendapat beasiswa sampai jenjang S3.

Mengawali menjadi dosen luar biasa di UI semenjak 2006, dan pada tahun 2009 menjadi dosen Pegawai Negeri Sipil untuk Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Selama 3 bulan (2015) Yayas mengikuti fellowship dan riset ke Leiden University. Sempat menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Filsafat (2006-2010), hingga kini Dr Saraswati Putri, S.S., M.Hum. adalah pengajar mata kuliah eksistensialisme, filsafat timur dan etika lingkungan.

Beberapa buku yang telah diterbitkannya, pertama karya sastra kumpulan puisi dengan judul Jiwa Putih (2004), buku yang kedua merupakan buku non fiksi tentang Hak Azasi Manusia (2006) oleh UI Press bekerja sama dengan Uni Eropa, sedangkan buku ketiga yang berjudul Cinta Bukan Coklat (2010) dan tahun 2015 menerbitkan bukunya berjudul Ekofenomenologi. Buku puisi selanjutnya berjudul Kekasih Teluk telah diterjemahkan Debra H. Yatim dan dirilis saat Ubud Writer Festival 2018 mendapat apresiasi yang cukup bagus.

Tulisannya sebagai kolumnis mengisi di berbagai media, termasuk Media Indonesia, Jawa Pos, Bali Post, Media Hindu, Raditya, Nusa Tenggara Post. Ia banyak menulis tentang tema-tema sosial, budaya dan politik. Selain itu kerap mengirimkan puisi-puisi dan telah dimuat oleh Media Indonesia dan Bali Post.

Perempuan inspiratif ini juga terlibat dalam gerakan konser amal dan koin sastra untuk penyelamatan Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin di Taman Ismail Marzuki, aktif menyuarakan kesadaran akan peran dan masalah seni sastra lewat akun pribadinya di medsos.

Pidato kebudayaannya berjudul “sembaHYANG Bhuvana” di Teater Jakarta TIM (2018) menguraikan kesan atas pengalaman kanak-kanaknya saat diajak kakek dan neneknya menyusuri berbagai pura di pesisir Bali. Kedekatannya dengan lingkungan hidup telah tertanam sejak kecil. Alam merupakan personifikasi dari kepercayaan yang ia yakini sehingga menjadi suatu kewajiban manusia untuk menjaga keseimbangannya. Kesucian dalam konteks alam dipahaminya secara kritis. Alam dipandang sebagai sesuatu yang sakral tetapi kesakralan ini datang dari suatu kesadaran bahwa alam yang seimbang dan lestari akan merawat manusia menjadi lebih baik.

Bersama Walhi dan beberapa artis lokal Bali, Yayas ikut memperjuangkan penolakan reklamasi kawasan hijau Benoa atas ketidakseimbangan, hancurnya Bali, hilangnya spesies, timbunan sampah, limbah, kemacetan dan over populasi yang luar biasa. Ia juga aktif menyuarakan aspirasi perempuan petani di Gunung Kendeng, Jawa Tengah. Kajian ilmiah, bukti atau argumentasi yang kuat soal dampak lingkungan hidup menurut Saras punya hak biotik. “Mereka bukan objek semata tapi juga subjek seperti kita manusia,” tandasnya.

Aktivis dan pemilik 24 anjing yang diselamatkan ini juga bergerak di bidang seni tarik suara. Albumnya yang tergolong one-hit wonder berjudul Chrysan, meraih sukses dengan terjual 30 ribu kopi dan masuk nominasi AMI Award untuk kategori Best Ballad serta Best Single (2001). Namun ia memilih undur diri dari blantika musisi karena nervous merasa tidak sanggup mencapai ekspektasi orang tentang citra seorang penyanyi.

Secara berturut-turut ia juga didaulat sebagai juri untuk penghargaan sastra bergengsi Khatulistiwa Literary Award, selain duduk sebagai anggota dewan pengarah untuk ASEAN Literary Festival.

Ketertarikannya soal kebebasan sekaligus kesengsaraan manusia tak lepas dari tesisnya sebelumnya. Tentang anatomi kesengsaraan. Lawatannya seminggu di Jepang hingga ke hutan Aokigahara di bagian selatan Gunung Fuji tempat banyak orang mengakhiri hidupnya dengan kasus hampir 100 orang per tahun berasal dari warga perkotaan besar, membuatnya berpikir bahwa banyak kebencian karena konformitas sosial. Banyak ketidakpuasan.

Doraemon dan Totoro fan-girl ini berpendapat tentang inequality atau ketimpangan gender yang ada di masyarakat sangat terkait dengan cara berfikir kritis dalam filsafat.

Belajar soal sufisme dari ibunya yang berasal dari Semarang membuatnya sangat menyukai Jalaludin Rumi dan para sufi dari Persia hingga Andalusia. Yayas bersyukur bisa tumbuh dalam keberagaman budaya dan agama. Orang tuanya sejak kecil membebaskan pilihan hidupnya, selama ia bertanggung jawab dan menjadi orang baik.

Kesukaannya atas tulisan karya Aldo Leopold dan Upanishad yang dianggapnya timeless (tak lekang oleh waktu) membuat aktivis workaholic ini selaku akademisi memiliki kewajiban publikasi risetnya dengan merancang cara agar hasil kajiannya dapat disampaikan ke masyarakat dengan bahasa yang lebih luwes.

Kerangka berpikir kritis yang dibangun dalam filsafat dapat menjadi jawaban dalam memecahkan suatu permasalahan. Misalnya dalam gerakan #metoo movement yang sekarang marak.

Stigma yang ingin diubahnya adalah bahwa filsafat itu menjejak ke bumi, pendekatannya dapat terhubung dengan disiplin ilmu lainnya yang bisa jadi pemahaman dasar dari ilmu-ilmu lainnya, termasuk seni.

Simak terus!
#TahunEmasIKJ #50TahunIKJ #IKJ2020

Info lengkap: acara@ikj.ac.id



@kampusikj



@institutkesenianjakarta



Institut Kesenian Jakarta



Institut Kesenian Jakarta

Sebarkan :
Daftar News