Top
  /     /   Civitas Academica IKJ

Diskusi: Riset Artistik & Penulisan Ilmiah

(Teks dikutip dari: LPPM IKJ)

Pada tanggal 29 Maret 2021 telah diselenggarakan seminar yang membahas riset seni guna memotivasi dosen di perguruan tinggi seni untuk menulis dalam jurnal ilmiah. Peserta yang terdaftar berjumlah 30 dosen yang hadir secara luring dan 50 dosen yang hadir secara daring. Sebagaimana diutarakan Dr. Marselli selaku Wadek III Bidang Riset, Inovasi dan Pengabdian kepada Masyarakat di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, kegiatan ini diharapkan dapat membantu dosen IKJ meningkatkan JFD-nya.

Dalam seminar tersebut hal-hal yang dibahas berupa perbincangan mengenai riset seni dan seni sebagai riset. Riset perlu disadari dan ‘jangan-jangan’ sudah dipegang tapi masih diperlukan daya kritis secara objektif. Berikut ini adalah beberapa catatan dari penulis saat menghadiri seminar tersebut.

Narasumber pertama Dr. Suwarno Wisetrotomo dari Pascasarjana ISI Jogja.

Pembicara pertama membuka dengan sebuah ungkapan menarik yaitu: “me’riset-riset’ dahulu, menulis kemudian”. Melalui pemaparannya, pembicara kemudian menyampaikan beberapa alasan dan argumentasi mengapa riset seni diperlukan dan apakah riset yang dilakukan adalah tentang seni atau untuk menghasilkan suatu karya seni. Metodologi yang dilakukan di antaranya dapat berupa pengamatan atau investigasi mendalam (pada diri sendiri) terkait proses kreativitas dari hulu ke hilir. Agar dapat menyampaikan hasil melakukan proses tersebut diperlukan suatu kemampuan lisan dan tulisan.

Selanjutnya disampaikan bahwa berkesenian adalah: “pengalaman mengalami pengalaman berada dalam proses dengan segenap kegelisahan, kekacauan (chaos) menuju kosmos, ketepatan bentuk, eksekusi, artikulasi dan distribusi. Dengan demikian, ujarnya, percakapan tentang seni tidak bisa tidak tentang itu.

Suwarno kemudian menguraikan, sebagai contoh, kurator lukisan melakukan riset artistik. Kurator menentukan tema dan menentukan narasi. Sementara pelukis perlu menggali forto, referensi dan lainnya sebelum menghasilkan lukisan. Sebagai contoh untuk diacu adalah lukisan “Mbah Mugi” dimana kurator dan pelukis mengungkapkan narasi bahwa Sri Sultan melekat dalam hati setiap orang kecil dengan demikian Sri Sultan merupakan contoh nilai “keteladanan”.

Dari uraian tersebut, Suwarno kemudian berpendapat bahwa riset adalah menerjunkan diri, kemudian melakukan kategorisasi, menyusun dan mencatat proses, mengambil keputusan-keputusan menentukan tema yang dibangun oleh argumen-argumen kokoh. Sedangkan orientasi karya seni adalah 1. Tentang kreator, 2. Prinsip-prinsip diatur dievaluasi oleh prinsip-prinsip di luar ukuran seni, 3. Apakah kongruen (sebentuk/sebangun).

 

Narasumber kedua: Dr. Seno Gumira Adjidarma dari Institut Kesenian Jakarta.

Pembicara Seno Gumira Adjidarma menyampaikan pendapatnya bahwa riset artistik adalah istilah tanpa makna. Hal itu dikarenakan bahwa istilah tersebut sekedar menyatakan bahwa riset yang dilakukan bersifat artistik. Perlu dilihat darimana terminologi riset artistik berasal. Apabila ditelusuri, riset artistik berasal dari bahasa Inggris, yaitu suatu terma: ‘artistic research’. Artistic Research dapat dipahami sebagai praktik berkesenian sebagai dasar dan sebagai objek, dilakukan oleh seniman dengan pendekatan (metodologi)yang diterapkan dan hasil akhir dihadirkan dalam bentuk pertunjukan, konser, pameran, tulisan atau media lainnya.

Selanjutnya Seno mengutarakan bahwa: “Oleh karena itu riset artistik membutuhkan kompetensi lintas yaitu lintas disiplin/lintas kompetensi keilmuan dan upaya perseorangan (solitary effort). Hal itu dilakukan demi pemajuan khayalak. Hasil penelitian itu dapat menghasilkan “Politik Penelitian Kesenian” dan “bagaimana penelitian disikapi sebagai Kebijakan”.

Berhubungan dengan terma riset artistik tersebut dengan demikian dapat merupakan: artistic research atau art based research. Proses tersebut dapat membangun yang disebut collegial networking, dan adanya situasi mendesaknya pengembangan. Sebagai contoh yang disampaikan Seno adalah sosok Nungki Kusumastuti selaku penari dan seorang peneliti yang mampu melakukan dua pendekatan penelitian yaitu penelitian yang prosedural dan sistematis dan kemudian sebagai seniman penari, melakukan penciptaan naluri tanpa prosedur. Namun Nungki sekaligus adalah seniman yang melakukan penelitian praktik seni yang tekstual dan di saat yang sama kontekstual. Contoh lain yang diambil Seno adalah Nashar, pelukis. Nashar mampu berargumentasi atas intuisinya.

Dalam sesi tanya jawab dengan kedua pembicara, di antaranya dialog tanya jawab menghasilkan diskursus yang meliputi:

Suwarno: “ketika temuannya memberi sumbangan pada pengetahuan, sosial humaniora seolah satu-satunya” dan hal tersebut dikarenakan”dalam ranah dunia akademik sumber pengetahuan meriset melalui seni-mengimplementasikan ilmu-ilmu bantu”, dengan demikian “periset” di dalam seni melakukan proses penciptaan mulai dari pinggir, tengah jikalau berbicara mengenai kreator di ranah akademik.

Seno: Kapankah ‘non’ (ilmiah) diformulasikan sebagai “riset?”. Kita lihat kembali pada sosok Nashar yang melakukan riset dengan prosesnya “through dan in”.

Keseluruhan diskusi dapat dilihat FFTV IKJ Channel di Diskusi Riset Artistik & Penulisan Ilmiah

Sebarkan :
Daftar News