Pemutaran Film karya Sjumandjaja (17-20 November 2022)
Sjumandjaja (5 Agustus 1933 – 19 Juli 1985), pengajar sekaligus Ketua Akademi Sinematografi LPKJ (1971-1973) –Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, cikal bakal Institut Kesenian Jakarta (IKJ)— sekaligus anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1973), adalah salah satu tokoh sineas senior yang tercatat dalam sejarah perfilman Indonesia. Karya-karyanya diangkat kembali dan diputar oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) melalui Kineforum dalam gelaran program bulan November 2022 berupa pemutaran film bertajuk “Sekali Lagi, Sjumandjaja” di Studio Asrul Sani dan Studio Sjumandjaja, Taman Ismail Marzuki, Gd. Trisno Soemardjo, Lantai 4, Jalan Cikini Raya no. 73, Menteng, Jakarta Pusat (17-20 November 2022).
Info lengkap: https://www.kineforum.org/november-2022
*
Profil:
Pada tahun 1959, Sjumandjaja memperoleh beasiswa untuk belajar menempuh pendidikan sinematografi di The Russian State University of Cinematography a.k.a. VGIK (Vserossijskij Gosudarstvennyj Institut Kinematografii), sebuah sekolah film di Moskow, Rusia.
Universitas Negeri Sinematografi Rusia VGIK adalah sekolah film tertua di dunia. Didirikan pada tahun 1919 oleh Lev Kuleshov dan Vladimir Gardin, pembuat film Rusia yang luar biasa, para lulusan fakultas di universitas ini terdiri dari para sarjana dan profesional berkualifikasi tinggi, bekerja di industri film dan televisi serta teater. VGIK dikenal sebagai lembaga spesialis pelatihan pendidikan tinggi yang mengajarkan: keterampilan akting, pengarahan film dan TV, pengarahan suara seni audio-visual untuk film dan televisi, desain produksi, grafis, sinematografi, studi bioskop, penulisan naskah (script writing), memproduksi untuk film & TV, serta manajemen.
Tahun 1965 Sjuman lulus dengan tugas akhir berupa film berjudul Bayangan yang merupakan film hitam putih berdurasi 25 menit, berbahasa Rusia. Ceritanya diadaptasi dari sebuah kisah yang ditulis oleh novelis Amerika Serikat bernama Erskin Caldwell. Tugas akhir tersebut membawa Sjuman lulus dengan nilai “sangat memuaskan” dan menjadikannya sebagai orang ke-7 sekaligus satu-satunya orang non-Rusia yang lulus dengan nilai setinggi itu sejak akademi tersebut didirikan di tahun 1919.
Putra kelima dari delapan bersaudara, kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, ini tumbuh besar di Kemayoran, Jakarta. Ayahnya bekerja sebagai juru gambar di zaman Belanda dan sempat ikut terpanggil untuk mendirikan Taman Siswa, tempat Sjuman menuntut ilmu hingga dewasa. Selepas SLTA, ia mulai menulis cerpen, sajak, dan kritik sastra serta aktif dalam kegiatan sandiwara bersama Misbach Yusra Biran, SM Ardan, dan Savitri putri penyair Sanusi Pane. Sjumandjaja juga mulai mencoba bermain peran-peran kecil di sejumlah film. Pada tahun 1956, cerpen berjudul Keroncong Kemayoran yang dibuat olehnya diadaptasi menjadi sebuah film berjudul Saodah. Film tersebut diproduksi oleh sebuah studio film bernama PT Persari. Pada tahun berikutnya, yakni 1957, “seniman Senen” ini menjadi Asisten Sutradara dalam proses produksi film Anakku Sajang. Film tersebut juga merupakan adaptasi dari tulisan yang dibuatnya dan diproduksi oleh perusahaan yang sama. Pada 1958, Sjumandjaja akhirnya bekerja di PT Persari dan bertugas dalam dapartemen penulisan yang dipimpin oleh Asrul Sani.
Setahun kemudian Sjuman mendapat beasiswa untuk belajar film di Moskow (1959).
Sepulang dari Rusia (1965), Sjuman mengajar 40 orang siswa dengan materi art cinematography dalam Kursus Kader Karyawan Film di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Pada tahun 1966, dirinya diangkat menjadi Direktur di Direktorat Film Departemen Penerangan (1967 – 1968). Di bawah kepemimpinannya, Direktorat Film melahirkan sejumlah kebijakan penting yang menjadi dasar perkembangan film di Indonesia. Antara lain diadakannya seminar persiapan UU Perfilman dan terbitnya SK Menteri Penerangan No. 71/1967 tentang pengumpulan dana lewat film impor yang digunakan untuk meningkatkan produksi dan rehabilitasi film nasional. Selain itu, lahir pula Dewan Produksi Film Nasional (1968) yang bertugas untuk membuat film percontohan yang bertujuan untuk mengubah orientasi para pembuat film yang saat itu banyak memproduksi film kodian. Dewan ini sempat melahirkan beberapa film. Pada masa jabatannya ini jugalah lahir kebijakan perbaikan kualitas produksi film lewat pemberian dana pinjaman yang didapat dari pajak film impor. Di bawah pengawasannya, kondisi produksi dan rehabilitasi film nasional berhasil tiba di titik yang menggembirakan.
Sjuman pun kemudian menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1973) di samping menjadi Ketua Akademi Sinematografi LPKJ yang dijabatnya sampai tahun 1973.
Setelah selesai bertugas di Direktorat Film, Sjumandjaya kembali aktif menulis dan beberapa kali ikut bermain peran. Skenario “Pengantin Remadja” (1971) yang ditulisnya mendapatkan penghargaan dalam Festival Film Asia 1971, sedangkan karya penyutradaraannya pertama “Lewat Tengah Malam” menarik perhatian kritisi film. Dua tahun setelah jadi birokrat di pemerintahan, Sjuman sempat membuat dua buah film lewat kolaborasi artistik antar seniman dengan dimodali oleh pemerintah. Di tahun 1968 ia dan teman sejawatnya berhasil memproduksi “Nji Ronggeng” dan “Apa Jang Kau Tjari Palupi?” (1969) di bawah naungan Dewan Produksi Film Nasional (DPFN).
Tahun 70-an merupakan tahun paling produktif dalam sejarah sinema Indonesia. Jurnalfootage menulis, pada masa itu sineas-sineas film Indonesia menghasilkan 124 judul film.
Tahun 1973 Sjuman mendirikan P.T. Matari Films dengan produksi perdananya “Si Doel Anak Betawi” yang mengorbitkan pemain cilik Rano Karno, setelah sebelumnya memproduksi film “Flamboyan” (1972). Film-film Sjuman yang kemudian mendapat penghargaan adalah cerita terbaik untuk “Laila Majnun” (1975) dalam Festival Film Indonesia 1976 di Bandung, serta selaku sutradara terbaik untuk film “Si Mamad” (1973) dalam FFI 1974. FFI 1977 di Jakarta memilihnya sebagai sutradara terbaik lewat karyanya “Si Doel Anak Modern” (1976). Semua film yang disutradarainya, skenarionya juga ditulisnya sendiri, termasuk “Pinangan” (1976) dan “Yang Muda Yang Bercinta” (1977). Menurut catatan Farida Oetoyo, balerina Indonesia yang tengah studi di Moskow dan dipinang Sjuman di tepian sungai Moscow yang berdekatan dengan Hotel Ukraina. Perempuan yang pertama dinikahinya (1962) ini menyebutkan dalam buku “Saya Farida: Sebuah Autobiografi” (2014) bahwa sepanjang hidupnya Sjuman telah terlibat dalam pembuatan film kurang lebih 53 judul film.
Dalam “Membicarakan Film Indonesia: Di Tangan Borjuis Kelontong, Film Hanya Barang Dagangan”, yang dimuat Majalah Analisa 24 Juli 1977, Sjuman menulis film Indonesia kala itu dikuasai oleh borjuis-borjuis kelontong yang tidak melahirkan industri atau pengetahuan, melainkan sebagai alat hiburan dalam arti yang tidak selalu sehat.
Sjuman mengambil sikap dengan mengajak untuk kembali pada identitas kultural demi melawan budaya pop yang semakin berpengaruh pada masa itu. “Untuk melawan kebudayaan pop yang sudah semakin berpengaruh sekarang ini kita harus menumbuhkan pribadi-pribadi. Dalam hubungan itu masalah yang terpenting adalah kembali pada identitas kita,” tulis Sjuman.
*
Sumber data (dikutip/disadur) dari: filmindonesia.or.id | wikipedia | DKJ | cek n ricek | kineforum