Dirgahayu ke-496 Kota Jakarta
Hari Ulang Tahun (HUT) ke-496 DKI Jakarta jatuh dirayakan Kamis ini (22/6). Hari ini merupakan peringatan HUT Kota Jakarta yang telah berdiri sejak tahun 1527 silam. Simak sejarah dan tema HUT DKI Jakarta 2023.
Tahun ini, Pemprov DKI Jakarta mengusung tema HUT ke-496 DKI Jakarta yakni “Jadi Karya untuk Nusantara”. Tema ini diambil sebagai amplifikasi slogan “Sukses Jakarta untuk Indonesia”.
Tema ini memiliki makna akan kesiapan Jakarta untuk mengoptimalisasi seluruh sumber daya demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat, serta pemantik kemajuan bagi daerah lain di Indonesia.
Rektor beserta segenap keluarga besar sivitas akademika Institut Kesenian Jakarta menghaturkan:
Dirgahayu DKI Jakarta!
Selamat Merayakan Tahun ke-496
22 Juni 2023
“Jadi Karya untuk Nusantara”.
“Sukses Jakarta untuk Indonesia”
Salam Debur Ombak🌊
👨🎓👩🎓dari Cikini
ikj.ac.id
*
Riwayat Kota Jakarta:
Sunda Kelapa (397–1527) Sejarah Jakarta bermula dari sebuah kota pelabuhan Sunda Kelapa yang saat itu wilayahnya masih dikuasai Kerajaan Hindu Pajajaran. Di masa itu, Sunda Kelapa merupakan pusat perdagangan dan menjadi kota sibuk sampai memikat bangsa Portugis di Malaka.
Pada 1552 atas perintah Gubernur Malaka, bangsa Portugis sebagai pendatang asing mulai masuk ke Sunda Kelapa. Niat para bangsa Portugis itu untuk meminta izin membangun benteng dekat muara Sungai Ciliwung. Rencana pembangunan benteng tersebut kemudian berhasil mendapat restu. Namun ketika bangsa Portugis kembali lagi pada 1527, Sunda Kelapa sudah beralih kekuasaan ke Pangeran Fatahillah.
Jayakarta (1527–1619) Berlanjut tentang sejarah singkat Kota Jakarta, perpindahan kekuasaan Sunda Kelapa ke tangan Fatahillah ternyata memicu pertempuran di antara keduanya. Pertempuran pun berlangsung sampai akhirnya Fatahillah dinyatakan menang dan langsung mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Dikarenakan pertumbuhan perdagangan di Jayakarta semakin berkembang pesat, wilayah ini menjadi tujuan para pedagang dari Eropa, Belanda, Portugis, sampai Inggris. Bangsa Eropa, Belanda, Portugis, dan Inggris ini banyak mendirikan kantor pusat dagang di Jayakarta. Jayakarta juga menjadi tempat berkumpulnya kapal-kapal dagang dari berbagai negara untuk bertukar komoditas.
Batavia (1619–1942) Berlanjut pada tahun 1619, Jayakarta mulai dijadikan pusat kekuasaan bangsa Belanda di Indonesia. Hal ini bermula ketika kantor serikat dagang perusahaan Hindia Timur Belanda VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pindah ke Jayakarta. Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Hingga kemudian dipimpin Jan Pieterszoon Coen Gubernur Jenderal VOC pertama, Jayakarta kembali mengalami perubahan nama menjadi Batavia. Nama Batavia berasal dari suku Batavi, sebuah suku Jermanik yang bermukim di tepi Sungai Rhein pada Zaman Kekaisaran Romawi. Bangsa Belanda adalah keturunan dari suku ini. Batavia juga merupakan nama sebuah kapal layar tiang tinggi yang cukup besar asal Belanda yang dimiliki VOC. Sebuah rancangan tata kota Batavia menyerupai kota-kota yang ada di negara Belanda dengan ciri berbentuk blok dan dipisahkan dengan kanal pun dibuat. Pembuatan kanal-kanal di tengah kota ketika itu banyak dikritik karena dinilai kotor dan menjadi sumber penyakit, bahkan sempat dijuluki kuburan orang Eropa. Masa kekuasaan VOC Belanda di wilayah Batavia ini cukup lama sekitar tiga abad dari 1619 sampai 1942.
Djakarta Tokubetsu Shi (1942–1945) Pada 1942 VOC Belanda takluk di tangan Jepang yang berhasil mengambil alih kekuasaan dan kembali mengusulkan nama baru. Dari Batavia tercetus nama baru yaitu Djakarta Tokubetsu Shi yang berasal dari bahasa Jepang dengan arti ‘Jauhkan Perbedaan’. Di samping itu kondisi Batavia memang dikenal sebagai kawasan yang berisi percampuran dari berbagai bangsa. Nama Djakarta Tokubetsu Shi kemudian disahkan saat peringatan Hari Perang Asia Timur Raya pada 8 Desember 1942. Namun, masa kekuasaan Jepang tidak berlangsung lama karena pada 1945 mereka menyerah pada sekutu.
DKI Jakarta (1945-sekarang) 17 Agustus 1945 Indonesia mulai mendeklarasikan kemerdekaan negaranya, sehingga berganti nama menjadi ibu kota Republik Indonesia. Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu selaku Menteri Penerangan Republik Indonesia Serikat mengatakan, sejak 30 Desember 1949 dinyatakan sudah tidak ada lagi sebutan Batavia. Ibu kota Republik Indonesia ini pun mendapat sebutan baru yaitu Djakarta, pada akhirnya dikukuhkan pada 22 Juni 1956 dan dipimpin oleh Gubernur pertamanya yaitu Soemarno Sosroatmodjo. 22 Juni akhirnya disahkan sebagai hari ulang tahun Jakarta pertanda momentum bahwa masa itu Fatahillah berhasil mengusir bangsa Portugis dari Sunda Kelapa. Setelah tahun 1972, penulisan Bahasa Indonesia mengikuti EYD (Ejaan yang Disempurnakan, 1972-2015, kini diberlakukan kembali sejak 2022) menjadi “Jakarta”, menggantikan Ejaan Van Ophuijsen (1901 – 1947).
Demikian sejarah singkat keberadaan dan progres Kota Jakarta dari masa ke masa yang saat ini secara resmi bernama Daerah Khusus Ibukota Jakarta (disingkat DKI Jakarta) adalah ibu kota negara dan kota terbesar (metropolitan) di Indonesia.
*
Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1966-1977), Ali Sadikin –yang akrab dipanggil ‘Bang Ali’– melihat bahwa metropolitan internasional seperti Jakarta membutuhkan fasilitas dan infrastruktur budaya. Menurutnya Jakarta akan menjadi tempat yang kering dan miskin budaya bila tidak ada kehidupan dan pendidikan seni. Pertemuannya bersama para tokoh seniman senior Indonesia saat itu melahirkan gagasan atas keberadaan sebuah wadah seni yang terpusat.
Setelah Gubernur mendirikan Pusat Kesenian Jakarta bernama Taman Ismail Marzuki (1968) serta membentuk Akademi Jakarta sebagai perumus arah perkembangan seni dan Dewan Kesenian Jakarta untuk kurasi dan pengaturan program seni yang dipentaskan dan dipamerkan, maka pada tanggal 26 Juni 1970, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mendirikan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) di Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki, Cikini. Sebuah lahan luas bekas tempat kediaman pelukis Raden Saleh (1811-1880) yang semula merupakan Kebun Binatang Cikini berganti rupa menjadi wadah terpusat para seniman berkarya melalui pelatihan, pembelajaran dan apresiasi seni di satu kawasan terpadu di pusat kota, sejak tahun 1981 hingga kini dikenal dengan nama Institut Kesenian Jakarta (1970-2023).