Mode IKJ Goes to Jumiko Ecoprint
Bidang Mode Program Studi Desain Produk Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Kesenian Jakarta beranjangsana ke Jumiko Ecoprint di kawasan Menteng, Bogor untuk pemahaman dan cara pembuatan tentang ecoprint.
Penggunaan tinta organik sebagai bahan cetak atau yang biasa disebut ecoprint sedang berkembang saat ini. Seperti penggunaan tinta pada masa lalu, ecoprint memanfaatkan bahan-bahan dari alam untuk mencetak pada berbagai media. Uniknya corak bahan alam yang digunakan akan membentuk hasil visual yang bernilai seni. Tren tinta ramah lingkungan yang lebih ramah lingkungan kini semakin naik.
Tinta organik atau Ecoprint adalah salah satu teknik dalam ranah eco-dyeing (pewarnaan alami) pada kain dengan menggunakan tanaman sebagai bahan pewarna dan pencetak. Teknik ini merupakan penggabungan antara pembuatan pola/pattern langsung berbarengan dengan pewarnaannya. Semua potensi dari sumber alami (daun, batang, dan akar) tanaman menjadi elemen desain dari gagasan ini (botanical style). Untuk mengekstrak warna dan pattern dari tanaman diperlukan suhu tinggi (70–90 derajat Celcius dan tergantung ketebalan daun) lewat steaming dan boiling. Kain yang digunakan adalah kain yang berbahan dasar serat alam.
Semenjak Johannes Gutenberg (1400-1468) menemukan mesin cetak pada 1439, teknologi percetakan naik pesat. Buku memakai kertas, begitu pula cap pada kain, atau bahan-bahan lain sebagai bagian dari budaya tulis. Semua teknik percetakan itu membutuhkan tinta.
Dulu tinta terbuat dari bahan-bahan alami. Seiring kebutuhan yang meningkat dan penemuan minyak bumi dan bijih-bijih mineral, tinta saat ini dibuat dengan proses kimiawi.
Namun pewarna kimia saat menyerap ke sawah, ladang dan lahan tanaman, berpengaruh pada air tanah hingga pada berbagai hasil alam yang dikonsumsi manusia dan ternak serta makhluk hidup lainnya, dapat memberikan efek buruk bagi ekosistem, kesehatan, juga pada beberapa kulit manusia yang sensitif dengan pewarna kimia. Orang Eropa lebih sensitif terhadap issue-issue lingkungan, oleh karena itu pemilihan teknik mencetak dengan memakai elemen dedaunan untuk pencetakannya, kini menjadi telah menjadi tren dunia.
Tinta terdiri dari beberapa komponen, yaitu bahan pewarna, bahan pengikat, bahan penolong, dan bahan pelarut. Tinta kimia dibuat dengan proses kimiawi rata-rata terdiri dari bahan yang tidak ramah lingkungan seperti minyak bumi, pembakaran gas alam, serbuk tembaga, serbuk aluminium. Sementara tinta organik terbuat dari bahan alam yang lebih ramah lingkungan.
Kegiatan ecoprint mudah dilakukan. Tanaman di pekarangan diambil bagian daun atau bunga kemudian siapkan media cetak seperti kertas, kain, kulit, atau bahkan tumbler logam. Tanaman di media tersebut digulung, lalu ikat dengan tali dan diberi pewarna alami. Setelah itu, media di kukus untuk tumbler dan kain atau direbus dengan api kecil untuk kulit. Tujuan perebusan atau pengukusan itu untuk memperkuat tempelan noda tanaman pada media.
Tidak hanya ramah lingkungan saat percetakan, tinta organik menggerakkan masyarakat untuk menanam berbagai tanaman di pekarangan rumah. Selain itu, tanaman bekas cetakan juga bisa digunakan untuk pupuk organik tanaman di pekarangan, sangat eco friendly, selain juga memberikan peluang bisnis rumahan. Tinta organik bisa menjadi solusi dalam industri mode cepat (fast fashion) yang kini mulai disorot karena dampaknya yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Ecoprint bisa jadi solusi UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) yang ramah lingkungan, apalagi di era krisis iklim, sangatlah perlu penggunaan tinta organik atau ecoprint.
Jumiko Ecoprint mengajarkan teknik zero waste ecoprint serta cara menggunting kain ecoprint tanpa membuang kain menjadi sampah. Terinspirasi dari keinginan untuk membuat motif kain batik yang menarik namun tidak dengan membuat batik pada umumnya yang kini dianggap dapat mencemari lingkungan sebab di era modern kini proses pembuatan motif melalui teknik batik menggunakan unsur kimia sebagai bahan cairannya.
Kecintaan pada alam menginspirasi sang pendiri, Jumico Jacobs untuk memanfaatkan guguran daun menjadi produk fesyen cantik, kain bermotif natural. Dia mengadopsi teknik eco print asal Turki untuk menghasilkan kain-kain bermotif daun dengan warna natural. Unik, cantik, berunsur seni, serta berkarakter membuat kain-kain buatannya diburu konsumen. Maklum saja, produk kain bermotif ini ramah lingkungan karena mengandalkan getah daun dan teknik kukus untuk menghasilkan warna serta motif. Agar kesan natural lebih tebal, produk fesyen ready to wear ini juga tak dijahit supaya motif lebih terlihat. Menurut Jumico, jika ada orang lain yang membuat, hasil akhirnya akan terlihat berbeda dan karakter kainnya tidak terlihat.
Usaha ini dimulai sejak tahun 2017 dengan berguru kepada trainer ecoprint dari Yogyakarta. Dalam sehari, Jumico mampu memproduksi sekitar 30 lembar kain. Dengan menggunakan daun-daun bergetah keras seperti jati, ekaliptus, dan lanang yang dikumpulkannya di hutan-hutan Bogor, Jawa Barat, Jumico mulai menularkan ketrampilannya kepada ibu rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya. Beberapa di antaranya pun ada yang menjadi produsen hijab ecoprint yang cukup laris manis di pasaran. Pasar Eropa, Jepang dan Arab Saudi adalah tujuan pemasaran Kain Ecoprint selain pasar lokal dan Asia. Prospek bisnis Kain Ecoprint (Cetak Daun) pasarnya masih sangat terbuka dan penggemarnya sangat banyak di seluruh dunia. Tahun ini saja Jumiko Ecoprint hadir dan terlibat di berbagai ajang fesyen seperti di tahun-tahun sebelumnya, antara lain: Ecoprint Fashion Week 2022 dan EO dari Miss Gown and Mister Tuxedo 2022, Bali Fashion Week 2022 serta Indonesian Fashion Parade 2022.
Sumber Teks & Foto: dari berbagai sumber | @modeikj | @jumicojacobs