Top
  /     /   Kronik Seni

STA Memorial Lecture Akademi Jakarta 2019 bersama Mahfud MD

Sutan Takdir Alisyahbana (STA) selama ini dikenal sebagai pejuang kebudayaan. STA selalu disebut sebagai tokoh penting dalam perkembangan sastra modern Indonesia. Pada 1968, ia dinobatkan menjadi ketua Akademi Jakarta, sebuah organisasi yang bertindak sebagai dewan kehormatan seniman dan budayawan Indonesia.

Maestro lukis Indonesia, Affandi, hingga budayawan Soedjatmoko  adalah anggota Akademi Jakarta. Walaupun STA telah meninggal pada 1994, organisasi dewan kehormatan seniman dan kebudayaan itu tetap langgeng hingga saat ini.

Bahkan, sejak 2009 lalu, Akademi Jakarta rutin mengadakan kuliah kenangan STA yang diberi tajuk “Memorial Lecture” atau biasa disebut “STA Memorial Lecture”. STA Memorial Lecture adalah sebuah forum yang mencoba merefleksikan soal-soal kemanusiaan dan kebangsaan kepada publik.

Selain untuk mengenang peran STA, Memorial Lecture yang digelar setiap tahun, memang sengaja diselenggarakan oleh Akademi Jakarta untuk membangkitkan kembali kesadaran bangsa Indonesia, yang dalam kurun beberapa tahun terakhir, seperti terlena oleh persoalan-persolan kekinian dan lupa pada cita-cita kemerdekaan yang telah direnggut pada 1945 silam.

Tokoh-tokoh bangsa, seperti Jusuf Kalla dan BJ Habibie pernah menjadi pembicara dalam acara “STA Memorial Lecture”. Tokoh pers nasional, yakni Rosihan Anwar, juga sempat membagi buah pikirannya dalam acara tersebut.

Pada 26 Agustus lalu, Akademi Jakarta kembali menggelar “STA Memorial Lecture 2019” di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kali ini, tema yang diusung adalah “Penguatan Demokrasi dan Nomokrasi untuk Merawat dan Membangun Indonesia” oleh Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H. dengan sambutan Wakil Ketua Akademi Jakarta Toeti Heraty N Roosseno disertai Biografi Intelektual oleh Imam Marsudi.

Dalam kuliahnya kali ini, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD sekali lagi mengatakan bahwa negara demokrasi harus dikawal dengan penegakan hukum yang adil. Menurutnya, negara demokrasi akan liar kalau tak dikawal oleh hukum.

“Demokrasi tanpa nomokrasi buyar sudah. Begitu pun sebaliknya, demokrasi tanpa nomokrasi itu semena-mena, otoriter bisa jadi totaliter, artinya, membuat hukum sendiri diberlakukan sendiri. Karenanya dalam konsep konstitusionalisme, demokrasi dan nomokrasi harusnya diberlakukan seimbang,”

Demokrasi bukanlah sistem yang baik tapi paling baik jika dibandingkan dengan sistem-sistem lain yang juga tidak baik. Di dalam demokrasi, rakyat bisa berkontestasi untuk berprestasi dengan kemampuan dan tanggungjawabnya sendiri. Maka untuk mengeliminir sisi buruk demokrasi harus ada nomokrasi (supremasi hukum).

“Demokrasi itu akan liar kalau tidak dikawal oleh hukum. Bagaimana kita mengembalikan segala persoalan di dalam proses demokrasi itu kepada hukum,” kata Mahfud.

Demokrasi tanpa nomokrasi (hukum) bisa jadi  anarki, penjahat bisa berlindung di dalam mekanisme demokrasi. Banyak pakar yang bilang, di Indonesia korupsi ditempuh melalui demokrasi”. Maka jika negara demokrasi kita ingin selamat, kokohkanlah nomokrasi, tegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Mahfud menyebut jika hukum ditegakkan di negara demokratis, maka akan mampu mengelola perbedaan dalam kehidupan masyarakat. Ia menilai perbedaan yang tak dikelola secara demokratis akan memunculkan ketidakadilan.

“Tidak ada kesempatan yang sama kepada setiap ikatan kelompok-kelompok masyarakat. Oleh sebab itu harus diolah secara demokratis,” ujarnya. Menurut Mahfud, nilai yang bisa diambil  adalah persatuan. Ia menyatakan sudah ada Pancasila yang ditetapkan sebagai dasar ideologi negara untuk mempersatukan masyarakat di dalam perbedaan.

“Oleh sebab itu, kita harus ingat bahwa kita harus bersatu di dalam keberbedaan yang sangat beragam,” tuturnya.
Lebih lanjut, Mahfud mengatakan berkaki-kali bahwa masyarakat bisa bersatu di dalam perbedaan yang dikelola secara demokratis.

“Kita akan bersatu, bersatu di dalam keberbedaan yang dikelola secara demokratis bila demokrasi itu dikawal oleh tegaknya hukum sehingga mengembalikan segala problem kepada hukum, jangan main hakim sendiri,” ujarnya.

Mahfud MD menilai bangsa Indonesia perlu menumbuhkan dan membangun kesadaran kolektif untuk meluruskan perjalanan negara ini mencapai tujuan konstitusionalnya.  “Saat ini yang kita perlukan adalah menumbuhkan dan membangun kesadaran kolektif bahwa negara ini akan baik jika kita kembali membangun demokrasi dan menegakkan hukum yang dasar dan bingkainya sudah ada dalam konstitusi dan ketatanegaraan kita.”

Mahfud mengatakan dasar dan bingkai itu adalah Pancasila serta konstitusi dan sistem ketatanegaraan Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945. “Semua sudah ada, Undang-Undang sudah lengkap. Kita tinggal mengacu saja.”

“Dalam UUD 1945 yang merupakan penjabaran pokok-pokok dari Pancasila itu digariskan bahwa sistem negara Indonesia adalah sistem kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi). Negara ini adalah negara demokrasi sekaligus negara hukum,” katanya.

Menurut dia, demokrasi Indonesia adalah deliberative democracy (dilaksanakan dengan permusyawaratan dengan semangat gotong royong, bukan dengan semangat mencari menang) dan negara hukum Indonesia adalah negara hukum yang berkeadilan dengan restorative justice.

“Tanpa kesadaran kolektif bahwa negara ini milik bersama dan harus dirawat bersama, maka yang menunggu di hadapan kita hanyalah kegagalan. Kita tidak mau negara kita menjadi negara yang gagal,” kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu.

Acara yang didahului santap malam bersama ini dibuka oleh Prof Dr Toeti Herati N. Roosseno dan disaksikan oleh Ketua Akademi Jakarta, Taufik Abdullah dan keluarga Sutan Takdir Alisjahbana serta dihadiri Prof. Dr. Emil Salim sekeluarga, Frans Magnis Suseno, Niniek L Karim, Irawan K Arseno mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Danton Sihombing PLT DKJ, Wakil Rektor IV IKJ Suzen HR Tobing, Ketua PKM-IKJ Esther L Siagian dan para undangan serta pemerhati lainnya yang tetap setia tak beranjak hingga waktu menunjukkan pukul 22.00.

Sebarkan :
Daftar News