Top
  /     /  Pidato Wisuda

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (Wisuda IKJ 2008)

Globalisasi, Keberagamaan, dan Pusat Studi Keindonesiaan
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono

Pidato Ilmiah dalam Wisuda IKJ Tahun 2008

 

Esai ini adalah pembicaraan tentang upaya untuk mempertahankan keberlangsungan dan merancang pertumbuhan pendidikan tinggi di zaman yang didorong dan disangga oleh teknologi tinggi sekarang ini, yang pada gilirannya menyebabkan kita mau tidak mau harus hidup bersama di sebuah kampung global, yang dalam banyak aspeknya tidak lagi mengenal batas-batas negara dan masyarakat. Di ‘kampung’ yang semakin lama semakin merasakan dampak globalisasi, tampaknya satu-satunya cara untuk tetap bertahan dan tidak sekedar menjadi konsumen adalah menjadi kreatif. Di semua bidang – tidak terkecuali pendidikan – menjadi kreatif berarti mengusahakan dengan sekuat tenaga agar kita mampu dan berani untuk ‘tampil beda’. Keadaan ini tampaknya merupakan suatu situasi yang paradoksikal: menerima status sebagai warga dari suatu dunia yang semakin memaksakan keseragaman tetapi sekaligus berusaha sebaik-baiknya untuk menjadi berbeda. Itu benar adanya, sebab paradoks pada hakikatnya adalah situasi ketika dua kenyataan yang ‘tampaknya’ bertentangan tumbuh dalam masyarakat agar tetap bisa berlangsung.

Dalam paradoks, dua unsur yang bertentangan itu memang tidak akan bisa duduk baik-baik berdampingan dengan damai, tetapi justru senantiasa ‘bertengkar’ agar keberadaannya tetap terjamin. Saya berbicara tentang keberagaman kebudayaan, yang barangkali merupakan satu-satunya kekayaan yang sekarang ini masih tersisa untuk bisa kita pamerkan dan tawarkan sebagai sumber kebanggaan sekaligus ‘barang dagangan’ kepada kalangan sendiri dan juga bangsa lain.

Di Negeri Kelautan ini – untuk meminjam istilah Prof. A.B. Lapian – lautlah yang menunggalkan kebhinekaan pulau-pulau yang berjajar dari Sabang sampai Merauke. Di ribuan pulau yang menjadi habitat begitu banyak kebudayaan yang berbeda-beda tumbuh hakikat hidup bangsa kita. Kita menjadi esa karena adanya laut; berbagai faktor yang berkaitan dengan geografi dan ekosistem, yang entah sejak kapan telah menciptakan masyarakat besar yang beragam, akan rusak oleh setiap usaha untuk menyeragamkannya. Penyeragaman adalah musuh utama keberagaman. Tidak keliru jika kita mempertahankan keyakinan nenek moyang kita tentang prinsip bhinneka tuggal ika.

Perkenankan saya mengutip sebuah pernyataan seorang pakar pendidikan, Noel F. McGinn, dalam tulisannya “The Implications of Globalisation for Higher Education”, tentang prinsip-prinsip pengembangan pendidikan tinggi dalam kaitannya dengan globalisasi:

Ilustrasi oleh : Hafid Alibasyah, M.Sn. (Dosen Fakultas Seni Rupa – IKJ)

The most efficient organisation of higher education in response to globalisation would act to increase the diversity of institutions and their curricula. Countries that achieve high levels of diversity in higher education will, over the long term, be in a much more favourable position that those countries that follow the fads and end up with standardised and uniform institutions.

Globalisasi tidak bisa dielakkan. Gerakan itu adalah suatu proses penyeragaman yang mau tidak mau terus akan berlangsung karena dunia kita sudah mengecil antara lain sebagai akibat dari perkembangan teknologi yang tidak perlu dihentikan, bahkan harus selalu ditingkatkan. Dunia pendidikan kita, seperti juga kegiatan lain, harus memberikan tanggapan terhadapnya. Dan cara yang harus ditempuh adalah meningkatkan keberagaman lembaga pendidikan tinggi, tentu tidak hanya organiasai administrasinya tetapi juga, dan terutama, kurikulumnya. Negeri-negeri yang mencapai taraf yang lanjut dalam keberagaman pendidikan tingginya akan berada dalam posisi yang lebih menguntungkan dibanding dengan negeri-negeri yang strategi pendidikannya hanya meniru-niru hal-hal yang senyampang lalu, yang pada akhirnya hanya menghasilkan lembaga pendidikan yang dengan membabi buta taat pada upaya penyeragaman.

Dinamika kebudayaan kita yang merupakan hasil dari keadaan geografi, ekosistem, sumber alam, dan sejarah singgungan antarbudaya, baik di antara milik kita sendiri maupun dengan yang datang dari luar, telah menciptakan keragaman yang menjadi kekuatan dan ciri khas yang harus terus-menerus dikembangkan dalam kegiatan pendidikan tinggi kita – tidak hanya demi keberagaman itu sendiri tetapi terutama demi keberlangsungan hidup bangsa. Kebudayaan adalah suatu proses yang tidak akan pernah berhenti, dan dengan demikian Negeri Kelautan yang sangat beragam ini merupakan laboratorium keragaman budaya yang unik, yang tidak terungguli oleh masyarakat dan bangsa lain.

Memahami, menghayati, memroses, dan menyebarluaskan keberagaman budaya itu merupakan tugas yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan tinggi lewat berbagai kegiatan yang mencakup berbagai bentuk. Dalam kaitan khusus dengan lembaga pendidikan tinggi seni di Indonesia, tugas itu bisa berlangsung lebih lancar lewat kerja sama dengan berbagai jenis lembaga lain, di samping sumber daya lain, yakni budayawan dan seniman yang menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat-masyarakat yang dipisahkan dan sekaligus disatukan oleh laut. Tugas itu dilaksanakan tidak hanya bagi bangsa lain tetapi juga, dan terutama, bagi kita sendiri. Harus dengan jujur kita akui bahwa kita senantiasa berada dalam suatu proses untuk menjadi Indonesia, suatu proses yang tidak boleh berhenti sebab proses itulah yang merupakan hakikat keberadaan kita.

Berdasarkan rangkaian kenyataan dan pemikiran tersebut, kita perlu menggagas dan membentuk suatu pusat studi keindonesiaan – untuk sementara kita namakan saja Pusat Studi Kebudayaan Indonesia – yang menampung, memroses, dan membantu pelaksanaan upaya-upaya ke arah pengembangan pendidikan, yang pada tahap pertamanya terutama berkaitan dengan kesenian. Aspek politis yang mendasari didirikannya lembaga ini adalah keyakinan bahwa pusat studi mengenai kebudayaan dan kesenian Indonesia harus berpusat di Indonesia. Bagi saya, apa yang disampaikan oleh Saudara Rektor mengenai sikap terbuka terhadap urban culture adalah sikap yang seharusnya kita ambil, bukan hanya karena kita kebetulan berada di kota yang dianggap metropolit, besar, dan pusat, tetapi karena dalam perkembangan yang sangat lanjut nanti dunia ini tidak layak lagi disebut sebagai kampung global tetapi kota global.

Kita memiliki sejumlah lembaga pendidikan seni yang tersebar di seluruh Negeri Kelautan ini. Agar upaya ke arah keberagaman itu bisa terlaksana, cara yang terbaik adalah sedikit demi sedikit menghilangkan tembok administratif dan akademik kaku yang memisahkan lembaga-lembaga itu, yang didahului dengan upaya serupa dalam taraf yang lebih terbatas di masing-masing lembaga. Demi kreatifitas, di zaman kita ini tidak ada lagi ilmu dan pengetahuan yang mampu dan berhak berjalan sendirian. Gagasan ini akan membantu kita dalam memperluas jangkauan kegiatan pendidikan kesenian kita, antara lain dengan menumbuhkan pendidikan kesenian di tempat-tempat lain yang berniat dan berpotensi untuk itu. Tradisi lisan kita yang sangat kaya akan merupakan salah satu kompnen penting dalam pelaksaan usaha itu. Lembaga-lembaga yang sudah ada akan menjadi salah satu aktor dalam upaya itu.

Hal tersebut juga sekaligus menyiratkan gagasan untuk membentuk suatu sistem yang memungkinkan mobilitas yang semakin tinggi bagi segenap warga akademik – dosen dan mahasiswa, di samping budayawan dan seniman yang selama ini berada di luar kampus – demi prinsip-prinsip diversity of institutions and their curricula. Lembaga dan kurikulum yang seragam akan ditinggalkan masyarakat. Saya berkeyakinan bahwa penyeragaman kurikulum dapat dipergunakan sebagai alat untuk represi ataupun indoktrinasi, di bidang ideologi maupun ilmu pengetahuan, yang bisa menghambat keberagaman dalam proses berpikir, bereaksi, dan menanggapi sesuatu. Penyeragaman adalah sama sekali bertentangan dengan sikap kritis dan kreatif yang kita upayakan agar tumbuh di kampus khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Kita sekarang ini hidup di sebuah kampung global – yang akan berkembang menjadi kota global – yang hakikat keberadaannya adalah proses ‘jual-beli’. Teknologi yang kita ciptakan, antara lain, telah menumbuhkan situasi itu. Sekaranglah waktunya bagi kita untuk menyusun strategi ‘jual-beli’ dinamika keberagaman budaya kita, tidak hanya dalam kaitannya dengan bangsa-bangsa lain tetapi juga untuk masyarakat kita sendiri. Dalam posisi semacam itulah Pusat Studi Keindonesiaan itu digagas dan insyaallah segera bisa dilaksanakan, tanpa secara langsung melakukan campur tangan dengan urusan ‘dalam negeri’ lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang ada.

Sebarkan :

Daftar News