Top
  /     /  Pidato Wisuda

Prof. Dr. Edi Sedyawati (Wisuda IKJ 2013)

Kearifan Lokal, Seni Kontenporer dan Industri Budaya
Prof. Dr. Edi Sedyawati

Pidato Ilmiah dalam Wisuda IKJ Tahun 2013

 

Ketiga istilah tersebut dalam judul itu perlu lebih dahulu mendapat kejelasan pengertian. Istilah yang sering digunakan orang itu, yaitu “kearifan lokal”, sebenarnya berkemungkinan menimbulkan salah pengertian. Yang dimaksud dengan “budaya lokal” maupun “kearifan lokal” dalam konteks Indonesia itu sebenarnya tidak terlalu mengacu semata kepada lokalitas, melainkan lebih kepada satuan suku-bangsa atau etnisitas. Sebagaimana kita ketahui bersama, daerah hunian suku-suku bangsa di Indonesia ini tidak terkotak-kotak kaku ke dalam lokalitas tertentu, baik secara geografis maupun secara adminitratif pemerintah. Sebagaimana kita ketahui, pembagian adminitrasi kewilayahan di dalam negara Republik Indonesia ini tertata berurut ke bawah ke dalam satuan provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Indonesia ini terdapat sejumlah suku bangsa yang daerah hunian asalnya meliputi lebih dari provinsi, tetapi sebaiknya pula ada sejumlah kabupaten yang merupakan daerah hunian primer lebih dari satu suku bangsa.

Demikan pula istilah “kearifan lokal” itu, di samping urusan kelokalannya, perlu pula ditegaskan apa yang dapat termasuk ke dalam pengertian “kearifan” itu. Kalau dengan wacana perlindungan hukumnya, maka “kearifan lokal” itu dapat dipilah terlebih dahulu ke dalam apa yang disebut “pengetahuan tradisional”, yang diperbedakan dengan “ekspesi budaya tradisional”, meskipun selalu bisa saja terdapat interferensi antara keduanya. Apa yang disebut Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) itu berimplikasi kepada Hak Paten, sedangkan Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expression) berimplikasi kepada Hak Cipta. Sudah tentu terkait dengan suatu ekspresi budaya atau seni tradisional tertentu bisa terdapat suatu kiat teknologi, jadi suatu pengetahuan, yang khas pula. Kedua-duanya, baik yang berupa pengetahuan teknologis maupun daya dan gaya ungkap, dapat dimasukkan ke dalam pengertian “kearifan”, namun itu masih perlu ditambah lagi dengan satu kualifikasi budaya yang lain, yaitu konsep-konsep. Konsep-konsep itu bisa berkaitan dengan pandangan dunia, dengan hubungan-hubungan sosial, maupun dengan cara-cara penanganan terhadap alam. Konsep-konsep itu seringkali begitu unik, tidak ada padananya yang tepat dalam bahasa Indonesia.

Dapat disebutkan misalnya konsep taksu dalam kualitas berungkap dalam kebudayaan Bali, atau konsep mungguh dalam tata berungkap Jawa, ataupun “sirri” dalam kaidah pergaulan Bugis, dan lain-lain yang masih harus diteliti dan dikenali demi pergaulan harmonis di antara berbagai suku bangsa di Indonesia ini. Kususnya konsep-konsep khusus dalam sistim kesenian suku-suku bangsa kita kiranya perlu segera diidentifikasi dan saling-kenalkan sehingga dapat menjadi kekayaan bersama bagi seluruh bangsa Indonesia, dan bukannya hilang ditelan industri budaya!

Institut Kesenian Jakarta sejak awal kelahirannya memang sudah mempunyai ancangan untuk menghasilkan seniman-seniman handal yang berwawasan modern ataupun kontemporer. Namun juga, para calon seniman itu tidaklah hendak dicabut sama sekali dari akar-akar budaya yang tumbuh di Indonesia sendiri. Oleh karena itu Jurusan Tari, misalnya, diajarkan beberapa gayatari tradisional seperti Jawa Surakarta, Jawa Yogyakarta, Bali, Sunda, dan Melayu, sambil juga menunjang studi-studi tari dari suku-suku bangsa lain seperti Minang dan Dayak. Kedalaman rasa budaya adalah sasaran yang hendak dituju melalui pengenalan berbagai ekspresi seni suku-suku bangsa itu. Disamping itu dilatihkan juga metode ekspolasi kemungkinan-kemungkinan berbagai ekspresi yang membuka cakrawala pengalaman estetik peserta didik untuk bisa menghasilkan karya-karya yang berancangan kontemporer, yang tidak terkendala oleh batasan-batasan apapun, dan menciptakan berbagai kebaruan.

Kemahiran berkesenian yang dilatihkan dan dikembangkan di Institut Kesenian Jakarta diharapkan juga disertai kedalaman pemahaman budaya, baik pada skala nasional maupun suku bangsa, dan sudah tentu juga disertai pengertian yang baik mengenai perkembangan-perkembangan kebudayaan lintas bangsa. Adapun pemahaman lintas bangsa itu tentulah tidak harus disamakan dengan “pemahaman akan kebudayaan ‘barat’” yang semula diperkenalkan oleh bangsa penjajah di negeri ini. Pendidikan untuk wawasan sejarah yang benar kiranya juga perlu mendampingi subyek-subyek perkuliahan seni di Intitut Kesenian Jakarta ini. Kesadaran budaya beserta kesadaran sejarah adalah suatu pokok tujuan yang tak boleh dibengkalaikan dalam institut pendidikan yang terpusat pada kesenian ini. Bagaimana, bangsa yang tangguh adalah bangsa yang memiliki kesadaran budaya dan kesadaran sejarah yang kuat.

Kini, di zaman yang sangat “industrial” ini, kita perlu memberikan perhatian yang cukup kepada apa yang disebut sebagai “industri budaya”. Yang dimaksud dengan Industri Budaya itu adalah peri kehidupan industrial yang terpusat kepada produksi dan perdagangan produk-produk apapun yang kandungan isinya adalah suatu aspek kebudayaan. Dapat disebutkan contoh-contoh produknya yang berupa buku, piringan hitam (dan segala jenis lain hasil perekaman suara), produk citra bergerak (film, video dan lain-lain yang isinya bersifat audio visual), serta produk acara-acara pertunjukan dalam skala apapun. Kandungan ini dari semua jenis ‘barang dagangan’ itu adalah kebudayaan dalam berbagai varian aspeknya. Kesenian merupakan jenis kandungan isi yang utama mengemukan dalam jenis produksi tersebut. Warisannya bisa sangat luas melintas dari yang sangat tradisional hingga yang sangat kentemporer, dari yang etnik hingga yang “universal”, artinya yang dianggap berlaku untuk semua bangsa. Dalam kasus Industri Budaya dewasa ini, gejala yang sangat mengemuka adalah tampaknya dominasi dari barang-barang dagangan budaya dari negara-negara maju tertentu, yang cenderung membuat dan menguasai pasar dunia, sehingga cepat atau lambat dapat mendominasi selera khalayak peminat dan pembelinya. Kalau hal ini terlampau berlanjut, maka akibat yang dapat terjadi adalah bahwa khalayak pembeli, termasuk yang di negara kita ini, dapat sepenuhnya ‘terkooptasi’ oleh selera popular dari negara-negara maju tertentu itu, dengan akibat susulan berupa terlupakan dan terbengkalainya khasanah warisan budaya kita sendiri. Marilah kita bersama-sama bersinergi untuk mengusahakan agar khasanah budaya kita sendiri tidak tersingkirkan, melainkan terpelihara dan terkembangkan kearah karya-karya baru yang bermartabat.! Semoga !

Sebarkan :

Daftar News