Top
  /     /  Pidato Wisuda

Prof. A.D.Pirous (Wisuda IKJ 2005)

Tiga Percakapan Tentang Aceh
Prof. A.D.Pirous

Pidato Ilmiah dalam Wisuda IKJ Tahun 2005

 

Tsunami telah memberikan bencana kehidupan yang luar biasa dampaknya kepada NAD. Yang berubah bukan hanya garis geografi alam, tetap juga kehidupan dan peta demografi manusia.Tsunami yang telah melindas dan melumatkan daerah tertentu di Aceh, harus memberikan manfaat yang besar pula bagi hari depan Aceh yang baru untuk merangsang perubahan-perubahan yang besar. Perobahan yang tidak bersifat infrastuktur fisik saja, tapi juga semangat, mimpi dan rencana-rencana yang berdampak panjang dan berproses lama. Pembangunan Aceh ke depan yang moderen namun tetap berakar pada tradisi kebudayaan masyarakatnya yang Islami. NAD harus terjaga dari tidurnya dan sigap membaca momentum alamnya.

Sebagai seorang senirupawan yang berkelahiran Aceh dan bermukim di Bandung sejak tahun 1955, saya telah meniti karir secara serius sejak tahun 1960-an. Pengalaman 10 tahun pertama melukis, telah mendorong saya pada satu pencarian “menemukan diri sendiri“. Kesadaran pencarian ini berlanjut ketika perjalanan studi di luar negeri ( USA , 1969 – 1971 ) yang dibarengi dengan kunjungan ke berbagai museum dan galeri seni.

Pada salah satu kunjungan ke museum inilah, mata, hati dan segenap perhatian saya telah tertambat pada sebuah pameran koleksi Seni Rupa Islam tradisional, koleksi berbagai karya kesenian Islami dari Timur Tengah dan Afrika Utara. Pameran ini dipamerkan di Museum Metropolitan New York. Semua benda-benda yang dipamerkan, umumnya menampilkan sisi seni kaligrafi Arab yang indah dan beraneka gaya. Unsur kaligrafi Islami inilah yang kelak mendorong dan mengantarkan proses awal saya masuk ke dunia seni rupa yang bernafaskan Islam.

Pertemuan dengan karya-karya seni kaligrafi Islam dalam pameran tersebut sebenarnya hanyalah membangkitkan kembali keakraban yang sudah lama terpendam, yang pernah saya alami dimasa-masa remaja saya yang lalu di Meulaboh, Aceh Barat. Pada masa itu, masyarakat Aceh hampir tidak ada yang buta aksara Arab, malah mungkin ada yang masih buta aksara latin.

Oleh karena itulah, sekembali dari studi singkat saya di USA, saya mulai melacak kembali sumber-sumber seni kaligrafi Arab di Aceh yang pernah singgah di kenangan saya. Saya tidak hanya menyinggahi tempat dan objek yang saya kenal, seperti ukiran khat yang ada di mesjid, di jirad kuno, di kitab dan benda karya sulaman di kota kelahiran saya. Malah saya melanjutkan penelitian, pengamatan dan studi terhadap karya kaligrafi yang berada di Banda Aceh, Pasai, Lhok Seumawe dan Lham No secara lebih luas. Saya melakukan studi banding di berbagai tempat terhadap bentuk khat, motif hiasan, baik yang dipahatkan pada batu nisan , yang lebih dikenal dengan “batu Aceh“, atau yang diukirkan pada dinding kayu di masjid dan meunasah, ataupun sebagai hiasan pada jendela “tolak angen” di rumah Aceh tradisional yang juga berfungsi sebagai pengatur sirkulasi udara.

Penghayatan terhadap keragaman gaya menulis khat yang sangat mempesona, adalah ketika meneliti koleksi buku dan kitab ilmu pengetahuan serta agama dan Al qur’an yang masih ditulis dengan tulisan tangan yang terdapat di perpustakaan di rangkang Tanoh Abee dekat kota Seulimum. Lembaran-lembaran kitab di Tanoh Abee telah memberikan cakrawala gaya khat yang sangat kaya ekspresif dan beragam. Banyak ditemui diagram yang dikitari oleh tulisan bebas yang memberikan horizon lain, dalam keindahan bentuk dan ruangnya. Khazanah khat kuno pada makam-makam yang memakai huruf-huruf bergaya Tsulus, Nask dan Kufik, bukan dituliskan tetapi ditatahkan diatas batu, pun memberikan dimensi keindahan lain dialam terbuka. Koleksi kitab-artifak jirad ini memperlihatkan bentuk kesenian yang sudah mengakar dan bernafas dalam masyarakat Aceh yang Islami.

Bagi saya penjelajahan jejak masa lalu ini, telah memberikan umpan untuk kreatifitas berkarya masa kini. Umpan yang ditangkap bukan dalam proses mengkopi, meniru, menjiplak untuk diusung, dihadirkan kembali sebagai karya masa kini. Tetapi mencoba menangkap spirit, dan membiarkan diri dan imaginasi terinspirasi oleh kekayaan bentuk dan batin yang ada di sana. Lukisan-lukisan yang tercipta kemudian, memang telah meletakan peran huruf menjadi sangat penting, malah terstruktur sebagai unsur yang menentukan, yang kemudian dikenal sebagai lukisan kaligrafi moderen di Indonesia.

Jirad-jirad kuna yang pernah saya pelajari, diantaranya makam Kandang XII ( makam Sultan Johansyah ), kompleks makam di kampung Pande, keduanya di Banda Aceh, lalu kompleks makam di Pasai ( Malikul Saleh, Ratu Nahrisyah di kampung Meunasah Minyeuk Tujoh ), Sutan Malik al Zahir di kampung Meunasah Beringin, Gedong di Lhok Seumaweh, makam Sultan Muzafar, makam Naina Hissamuddin bin Naina Amin.

Ilustrasi oleh : Hafid Alibasyah, M.Sn. (Dosen Fakultas Seni Rupa – IKJ)

Demikian pula mengunjungi makam yang belum begitu didata di kampung Pantee Keutapang, di Lham No, Aceh Jaya.

Proses berjalan ke lorong waktu ke salah satu sisi sejarah kebudayaan Aceh masa lalu untuk memberi warna kepada ciptaan dan kreatifitas masa sekarang, adalah upaya menjembatani terpeliharanya ruh, tradisi dan kearifan lokal yang syarat nilai. Demikianlah salah satu picuan awal lahirnya seni rupa kotemporer Islami berwajah kaligrafis di Indonesia.

Ketika tsunami menghancurkan daerah pantai di Aceh, turut pula terkurasnya lokasi-lokasi yang kaya dengan artefak budaya ini; seperti makam dan rumah tradisional yang telah sekian abad memperlihakan jati dirinya untuk dibaca kembali melalui kearifan kita masa sekarang. Kompleks kampung Pandee yang selama ini dianggap sebagai situs yang kaya dengan jirat batu Aceh telah ludes dihantam tsunami. Rupanya gelombang tidak hanya merenggut nyawa mahluk yang masih hidup, tetapi juga mengambil kembali tapak makam mereka yang sudah lama meninggal.

Oleh karena itu, untuk menata kembali kesinambungan sejarah, untuk tidak membiarkan diri kita menjadi asing di lingkungan kita sendiri, untuk mengisi semangat dan ruh yang kaya di masa pembangunan kembali NAD, perlulah hal-hal ini dengan sungguh-sungguh diperhatikan. Pemugaran dan penataan kembali situs purbakala serta artefak sejarah baik yang rusak ataupun yang belum terpelihara, adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar lagi.

Demikian pula kewajiban kita bukan hanya memelihara keterusan sejarah tetapi juga menciptakan sarana-sarana yang baru untuk memperlebar jalan tumbuhnya masyarakat moderen yang kaya dengan budaya leluhurnya. Disinilah sudah tiba waktunya NAD harus mengutamakan program pendidikan berbagai bentuk kesenian yang berorientasi kekinian, agar dapat menjadi landasan perkembangan kebudayaan baru Aceh, yang sekali gus turut memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia. Akademi berbagai kesenian, lembaga museum, galeri dan dokumentasi sejarah serta berbagai pendidikan kejuruan tingkat menengah lainnya harus sudah terintegrasi dalam program rekonstruksi masa panjang di NAD, dan segera terimplimentasikan hal-hal yang mendesak yang sesuai momentumnya. Inilah barangkali contoh sederhana bagaimana merebut kegemilangan dari puing-puing tsunami yang lalu, yang kelak membahagiakan rakyat di Nangro Aceh Darussalam ke depan. Insyaallah.

Sebarkan :

Daftar News