Top
  /     /  Pidato Wisuda

Mohammad Rivai Riza, MA.(Wisuda IKJ 2018)

PENDIDIKAN SENI DI MASA DEPAN

Yang terhormat Ketua Yayasan Seni Budaya Jakarta;

Yang terhormat Rektor Institut Kesenian Jakarta serta para Wakil Rektor;

Yang terhormat Ketua dan Anggota Senat Akademik Institut Kesenian Jakarta;

Yang terhormat Pimpinan Akademi Jakarta, Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki, dan Dewan Kesenian Jakarta;

Yang terhormat para Dekan dan Wakil Dekan serta Direktur dan Para Wakil Direktur Institut Kesenian Jakarta;

Yang terhormat para Ketua dan Sekretaris Program Studi;

Yang terhormat para Dosen dan Sivitas Akademika Institut Kesenian Jakarta;

Yang terhormat Orang Tua dan Wali Wisudawan;

Yang terhormat para Ketua dan Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa, Senat Mahasiswa, dan Himpunan Mahasiswa Institut Kesenian Jakarta;

Yang terhormat para Undangan, para Mitra, dan Sahabat Institut Kesenian Jakarta.

Saya ingin membuka forum terhormat ini dengan sebuah pertanyaan:

“Bagaimana industri film (audio visual) bergerak di dalam industri abad baru?”

Di sebuah konferensi sistem keilmuan di Hawaii pada tahun 2016 disampaikan bahwa ‘Kita akan tiba dalam sebuah era dimana proses produksi saling ber-interkoneksi. Sebuah pola industrial dengan penekanan pada teknologi otomasi, siber fisik, internet dan komputasi awan.’

Pada era ini definisi praktek seni audio visual terus bergerak dan berkembang dinamis – semua bertujuan pada kemajuan penceritaan. Dapatlah kita yakini bahwa di masa depan proses bercerita tidak akan terlepas dari pertemuan teknologi, seni, dan sains. Hal ini juga akan terjadi pada media film, dimana ia akan terus berintegrasi untuk mengakomodasi perkembangan teknologi dan tuntutan penonton.

Munculnya berbagai terminologi teknologi terbaru

Saya akan memaparkan beberapa perkembangan teknologi terbaru dalam teknik bercerita.

‘CGI 3D Imaging’ – ‘Virtual Reality’ – ‘Augmented Reality’- ‘Digital Interactive Story Telling’.

Saya yakin banyak yang merasa familiar dengan terminologi-terminologi di atas dan saya akan membahas mengenai salah satu diantaranya, yaitu Virtual Reality (VR). Virtual Reality adalah sebuah teknologi yang mengubah peran penonton di dalam dunia bercerita. Dimana ia berubah dari objek penonton pasif menjadi subjek penonton aktif. Secara literal, penonton mendapatkan pengalaman imersif untuk berinteraksi di dalam dunia tersebut. Sehingga penonton tidaklah lagi sekedar ‘menonton’ tetapi ‘mengalami’.

Venice International Film Festival, salah satu festival bergengsi di dunia yang tahun ini memasuki penyelenggaraan ke 75, telah 3 tahun berturut-turut menyelenggarakan kompetisi yang khusus didedikasikan kepada film Virtual Reality. Pada tahun 2016, Venice juga membuka VR Lab pertama, dimana mereka menerima ajuan gagasan, menyeleksi dan menyelenggarakan laboratorium pengembangan serta produksi bagi 9 (sembilan) pembuat film dengan konsep VR film. Para pembuat film tersebut kemudian diberikan lokakarya, biaya produksi sebesar hingga € 30.000 dan filmnya kemudian diputar di festival. Untuk menyelenggarakan VR, Venice-pun menyediakan sebuah ruangan ‘state of the art’ untuk mengalami VR dengan kursi yang dapat berputar 360 derajat. Kita dapat melihat bagaimana festival film tradisional-pun mulai menanamkan investasi terhadap teknologi terbaru di dunia perfilman.

“Masa depan film adalah Virtual dan Augmented Reality. Membayangkan masa depan VR / AR saat ini seperti membayangkan masa depan internet 15 tahun yang lalu.”

Praktek film tidak hanya mengubah bentuk karya itu sendiri, tetapi juga perlahan mengubah penontonnya. Namun sebelum terlalu jauh kita membahas mengenai VR, saya ingin mengembalikan topik saya kepada kenyataan perfilman yang lebih dekat dengan realita di Indonesia, yaitu ‘platform digital’.

Ilustrasi oleh : Hafid Alibasyah, M.Sn. (Dosen Fakultas Seni Rupa – IKJ)

Produksi dan distribusi konten

Hari ini, kita berada di tengah arus platform distribusi ‘streaming’ digital: seperti Netflix, Amazon Prime, Hulu, Film Struck, Mubi. Dalam waktu dekat, studio besar di Hollywood juga akan membuat platform digitalnya sendiri. Kita dapat melihat banyak contoh bisnis berintegrasi dimana mereka mulai menanamkan investasi terhadap konten digital, seperti Amazon Studio yang bermula sebagai retail online penjualan buku.

Menonton film sebagai konten digital merupakan konsep yang tergolong baru dan sukses di dunia entertainment. Hal ini menantang para filmmakers maupun penulis untuk memproduksi film yang dapat dengan mudah dinikmati dalam medium seluas layar telefon genggam. Hal ini kiranya akan mempengaruhi desain artistik, sinematografi, editing dan sound. Struktur berceritapun membutuhkan pendekatan yang bisa:
(1) memukau dalam waktu singkat seperti pada seperjalanan kereta menuju kerja,
(2) efektif dalam lingkungan yang tidak terkontrol atau penuh distraksi.

Di Indonesia, platform digital dengan konten lokal sudah mulai menjadi alternatif bagi pemasaran dan pendanaan film. Sehingga, model distribusi dan pendanaan film juga terus berevolusi, dengan pertimbangan potensi pasar yang lebih luas, terbuka dan pengurangan kehadiran ‘gate keeper’ dalam sistem distribusi film di masa lalu.

Peran penting seorang “Produser”

Di dalam industri yang terus menerus berevolusi secara dinamis ini, saya ingin menekankan pada pentingnya peran seorang “Produser”. Sesorang yang melihat dunia film dengan segala kompleksitas produksi dan distribusinya. Dimulai dari platform sinema (bioskop) konvensional, televisi akses bebas, siber fisik, hingga kini platform distribusi digital. Beliau jugalah yang memegang tanggung jawab akan gagasan film dan membaca antisipasi perkembangan teknologi. Melalui seorang produser, yang memiliki keterbukaan berpikir dan kesadaran akan perkembangan industri film inilah, kita dapat melahirkan bentuk film dengan gagasan yang inklusif untuk pasar yang semakin dinamis.

Disinilah IKJ, sebagai institusi pendidikan film dan seni, berperan.

IKJ dan perannya sebagai institusi seni di Indonesia

Sebelumnya saya ingin mengutip sebuah kutipan:
“Ke depan kita harus melihat integrasi seni dengan teknologi dan sains. Tidak sebagai pendamping tapi terintegrasi. Teknologi dan sains menjadi rangka dan otot, sedangkan seni adalah darahnya. Sebaliknya seni dapat pula menjadi struktur (hardware) dan sains menjadi jiwanya (software). Pendidikan seni dan media baiknya dirancang untuk integrasi ini. Sejak 2014 pengintegrasian ‘Seni’ ke kurikulum pokok STEM yang kini menjadi STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts dan Mathematics) sudah dimulai di pendidikan umum Amerika”.

Dalam era teknologi yang memungkinkan produksi film menjadi semakin cepat dan terbuka, pendidikan seni ditantang untuk menghasilkan produser (pembuat) konten yang memahami betul produksi gagasan berkualitas, membaca mata rantai industri dan merancang strategi distribusi.

Ini merupakan tantangan besar yang dibebankan pada para pengajar. Proses peningkatan kapasitas terhadap perkembangan teknologi digital harus terus dilakukan. Institusi seperti IKJ dengan mahasiswa berlatar belakang budaya luas (mencangkup seluruh Indonesia), juga memerlukan pengajar dengan wawasan identitas budaya. Sehingga, sebuah karya tidaklah hanya dihasilkan oleh praktik pengembangan teknologi dan sains, tetapi juga memiliki rasa individualitas yang kuat sebagai roh bagi cerita yang dihasilkan. Film kita tetap menjadi identitas negara, bangsa Indonesia.

Fakultas Film dan Televisi IKJ adalah lembaga pendidikan film yang berada di tengah sebuah lembaga pendidikan kesenian yang lengkap. Ini merupakan sebuah potensi yang unik dan besar. Pergaulan kreatif mahasiswa antar fakultas dan jurusan dapat menjadi salah satu kekuatan yang tidak dimiliki oleh sekolah film lain di Indonesia – bahkan di negara lain.

IKJ dapat mengembangkan berbagai unit jurusan ‘hybrid’ dan model laboratorium kolaborasi antar jurusan dengan mengakomodasi perkembangan teknologi industri untuk kemajuan penceritaan. Kolaborasi ini berpeluang menciptakan subjek (produser) maupun objek (film) di industri perfilman yang sekarang menjadi sebuah ‘demand’ di pasar.

Saya mengerti bahwa ini mungkin merupakan dunia yang tidak familiar bagi kita semua. Tetapi seperti halnya film dan industri yang berevolusi, kita semua sebagai ‘makers’ dan pendidik juga sudah seharusnya memasuki tahap untuk mengubah tradisi.

Jakarta, 11 Desember 2018
Mohammad Rivai Riza, MA. (Riri Riza)

Sebarkan :

Daftar News