Dr. Wagiono Sunarto, M.Sc. (Wisuda IKJ 2008)
Industri Budaya Indonesia
Dr. Wagiono Sunarto, M.Sc.
Pidato Ilmiah dalam Wisuda IKJ Tahun 2008
Yang terhormat Ketua Senat dan para Anggota Senat IKJ
Yang terhormat Rektor dan para pimpinan IKJ
Yang terhormat para undangan dan dosen IKJ
Para Wisudawan yang berbahagia
Pada pagi yang khusus ini kita bersyukur telah diberi berkah dan kesehatan untuk berkumpul dan bersiraturahmi pada hari yang telah dinantikan oleh para wisudawan dan keluarganya.
Pada pagi ini, saya mendapat kesempatan untuk menyampaikan pemikiran dalam bidang kebudayaan di Indonesia dan saya telah memilih untuk memaparkan permasalahan Industri Budaya, yang dewasa ini sering dibahas dengan istilah Industri Kreatif. Istilah Industri Kreatif memang masih menimbulkan pertanyaan. Apakah itu Industri Kreatif dan Ekonomi Kreatif? Mengapa industri-industri berbasis seni yang telah berkembang lama sebelum Revolusi Industri, tiba-tiba mendapat nama baru? Apakah kaitan iIndustri Budaya dengan industri berbasis seni di Indonesia. Hal-hal inilah yang ingin saya angkat dalam pemaparan pagi ini.
Industri Kreatif dan Ekonomi Kreatif tengah ramai dipromosikan karena industri-industri dalam kategori ini dianggap punya potensi besar menjadi kekuatan ekonomi yang bisa meningkatkan daya saing global suatu bangsa dan bisa meningkatkan kesejahteraan pelaku-pelakunya.
Pada tahun 1988, Departemen Kebudayaan, Media dan Olah Raga Pemerintah Kerajaan Inggris menggulirkan istilah ‘industri-industri kreatif’ atau Creative Industry yang kemudian dipakai oleh negara-negara Eropa, Amerika Utara, Australia, New Zealand dan Asia. Industri-industri Kreatif didefinisikan sebagai : “Industri-industri yang tumbuh dari kreativitas, keterampilan dan bakat individu, yang punya potensi untuk meningkatkan kemakmuran dan penciptaan lapangan kerja, melalui pemanfaatan dan eksploitasi hak atas kekayaan intelektual”. Kelompok usaha yang dimasukkan dalam kategori ini adalah : periklanan, arsitektur, perdagangan seni dan benda antik, kriya, desain, desain fashion, film, video, interactive, leisure software, musik, seni pertunjukan, software and computer, televisi dan radio.
Di Inggris Industri Kreatif menyumbangkan 8,2 % GDB, dan merupakan sektor kedua terbesar setelah Jasa Finansial. Pertumbuhan sektor kreatif Inggris 3x rata-rata pertumbuhan ekonomi (9%) dan pertumbuhan ekspor (15%) dan penyerapan tenaga kerja (3%). Inggris mengekspor expertise dalam bidang Industri Kreatif ke Amerika Selatan, negara-negara Baltik, Cina, India, dan Filipina.
Bank Dunia menyatakan bahwa 50% konsumsi masyarakat di dunia kini berasaldari Ekonomi Kreatif. Sejak 2006 British Council bekerjasama dengan berbagai mitra di Industri, pemerintahan, Komunitas Kreatif, lembaga pendidikan dan media di Indonesia untuk menciptakan peluang bisnis, daya inovasi dan daya saing global. Tahun 2005, industry manufacturing yang terkait dengan kreativitas : tekstil, sepatu, kulit, seni kriya, hiburan dan sebagainya telah menyumbang 33% PDB Indonesia, 6x lipat lebih besar dari pemasukan Gas dan Minyak Bumi. Indonesia punya sumber alam, basis manufacturing, serta tradisi kreatif untuk membangun kekuatan ekonomi.
Dalam catatan Departemen Perdagangan pada Pameran Ekonomi Kreatif kita melihat angka-angka yang berbeda namun cukup signifikan yaitu: Kontribusi Industri Kreatif terhadap PDB nasional 5.67% atau 104.787 triliun rupiah, kontribusi pemyerapan tenaga kerja 5% atau 4.902.378, sector lapangan kerja utama 5.17% atau 2.188.815. Rincian lapangan usaha tersebut adalah : Desain Fashion 1,3 juta perusahaan, seni kriya 928.000 perusahaan, kelompok desain 202.000 perusahaan dan kelompok usaha lain 25.000 perusahaan. Dalam catatan yang sama dinyatakan bahwa Ekonomi Kreatif harus dikembangkan karena : memberi kontribusi ekonomi, menciptakan iklim bisnis, mempunyai dampak sosial, daya inovasi dan kreativitas, citra & identitas bangsa dan sumber daya yang terbarukan.
Bapak Ibu yang saya hormati
Di dalam berbagai wacana dan diskusi mengenai Industri Kreatif di dunia, kita bisa melihat beberapa kriteria yang dipersyaratkan yaitu:
- Adanya kreativitas individual dan inovasi yang aplikatif.
- Adanya nilai tambah yang tinggi karena eksploitasi hak atas kekayaan intelektual
- Adanya peningkatan kemakmuran pelaku
- Adanya peningkatan produksi kreatif yang berdaya saing global
- Adanya pemanfaatan ICT (Information & Communication Technology) secara optimal
- Adanya keragaman skala usaha (tidak terikat pada skala tertentu).
Pertanyaan utama kita, seberapa banyak perusahaan yang ada dalam angka-angka di atas yang telah mencapai kriteria tersebut. Mungkin tidak banyak bahkan mungkin beberapa bidanga tersebut belum bisa dibidang sebuah industri.
Untuk memberi gambaran tentang suatu enterprise yang telah berhasil menjadi agen perubahan dan telah mengembangkan ekonomi kreatif berdasarkan kreativitas individual izinkan saya memilih sebuah kasus nyata di AS yaitu perkembangan studio Disney Corp, yang pasti kita semua kenal.
Enterprise ini lahir dari talenta dan kreativitas individual serta semangat kewirausahaan Walt and Roy Disney. Mereka bukan orang pertama yang membuat film animasi, mereka juga bukan orang yang pertama yang punya gagasan ceritera hewan yang bisa berbicara dan berperilaku seperti manusia. Fabel, telah membudaya pada komunitasnya dan telah didongengkan dalam sastra verbal di berbagai daerah jauh sebelum fable-fabel Pancatantra (India Abad 5 SM) dan Aesops (Yunani Abad 5 M) yang ditulis kembali oleh studi Disney adalah wahana ceritera atau teknik dan gaya story telling yang baru sensasional, kocak dan menawan. Segera Mickey dan kawan –kawan popular dan dicintai penggemar berbagai usia.
Mereka telah menemukan peluang atau market nieche yang memang dibutuhkan. Mereka telah menemukan sebuah genre baru film-film pendek bersuara.
Pada tahap berikutnya kartun-kartunnya dikembangkan menjadi film ceritera panjang (teature film) yang berwarna ceritera dongeng Show White (1938) dan Pinochio (1940) telah dikenal dan tertanam dalam budaya barat Disney tidak membuat ceritera baru, ia menghidupkan kembali ceritera Grim, Anderson, Colody, Kipling dan lain-lain yang sudah mengakar pada budaya mereka. Selain itu ia menghidupkan mitos kepahlawanan dan pembebasan yang mengakar lebih dalam dan bersifat Universal Studio, Disney kembali menemukan cara memceritakan sebuah dongeng lama dalam bentuk penuturan baru yang lebih hidup secara indah, manis, menawan dan spektakuler. Kembali mereka memulai sebuah genre baru yang segera popular dan dicintai penggemarnya.
Selanjutnya Disney Corp membentuk Buena Venture dan melangkah ke tahap yang umum pada sebuah enterprise yang kapitalistik yaitu menciptakan diversifikasi dan konglomerasi serta menjual lisensi hak cipta merchandise-nya. Maka selain film kita melihat lahirnya berbagai produk budaya yang terkait dengan mimpi Disney yaitu komik, majalah, piringan hitam, boneka, buku, berbagai kostum dan merchandise lain. Untuk membuat mimpinya menjadi pengalaman nyata mereka membangun Disney Land dan Disney World di Orlando, yang kemudian di franchise-kan ke Tokyo, Paris dan Hongkong, Kerajaan mimpi ini diperkuat berbagai fans-club dan diikat oleh Disney Chanel yang beroperasi secara global.
Kerajaan bisnis mimpi dan imajinasi Disney dimulai 80 tahun yang lalu secara sederhana dan sekarang telah menjadi 8 kelompok usaha Disney yang mempunyai lebih dari 200 anak perusahaan dalam bidang produksi film dan video, produksi program broadcast, televisi dan media network, internet group, consumer product, park dan resort, vacation club, regional entertainment dan outreach program di seluruh duni Diversifikasi usaha Disney lebih dari sekedar konglomerasi, namun penciptaan sinergi-kreatif yang saling menjual, melalui media dan komunitas yang dikuasainya. Filmnya menjual buku, majalah, kostum, bonka dan sebaliknya. Dengan cara ini terbina suatu massa penggemar fanatic yang telah dikuasai oleh mimpi-mimpi yang telah dibangunnya.
Jepang yang hancur karena PD II, memulai industri animasi dengan menjadi tenaga artisan atau finishing film animasi Amerika Serikat baik yang bergaya full animation Disney maupun limited animation Hanna Barbera. Pada pertengahan 60-an Jepang telah membangun genre asli anime yaitu, serial super hero robot dalam alam teknologi futuristik. Sekarang, Miyazaki mempelopori penciptaan film feature-length yang punya tehnik animasi tinggi dan kisah-kisah halus tentang misteri dan mistik kuno yang dipadu dengan realita masa kini. Genre seperti ini tidak pernah ada sebelumnya. Selanjutnya kita dapat menyaksikan sinergi industri kreatif khas Jepang yang dibangun melalui film layar lebar, film serial TV, video-game, buku, merchandizing, computer-game dan komik mangga. Fanatikisme fans remaja terhadap alam fantasi dan mimpi produksi budaya Jepang ini tampak jelas dalam acara cosplay para remaja pada berbagai kesempatan. Action figure robot dan monster anime Jepang yang popular menjadi collectors item yang nilainya terus meningkat. Pop-cult khas Jepang ini sudah membentuk nilai-nilai kultural yang dianggap milik sendiri oleh para anak dan remaja di negara lain.
Ini hanya satu contoh kasus dari banyak sekali kasus yang hampir serupa pada industri Media leisure and Entertainment yang sangat dinamis dalam interaksi sosial-budaya dengan pasarnya. Kasus sukses kerajaan Disney dan Miyazaki terjadi karena talenta, kreativitas dan interaksi kreatif yang terus menerus diantara para kreator, teknisi, konseptor dan pengelola setiap unit dan usahanya. Selain itu, sukses tersebut juga dimungkinkan karena adanya suatu critical mass penggemar yang punya daya beli tinggi, dan yang punya cultural sphere kelas menengah modern serta punya akar heritage yang kuat. Masyarakat yang relatif mapan itu mengembangkan suatu cultural literacy yang mudah dijadikan landasan kreatif produk budaya skala besar. Keadaan ini ditambah iklim industri dan investasi yang stabil dan perlindungan hukum dan HKI yang memadai.
Catatan yang penting adalah bahwa pada awalnya (dan selanjutnya) film-film AS tidak diciptakan untuk bersaing dengan pasar internasional, tetapi berhasil untuk menciptakan box-office nasionalnya. Produk-produk kreatif itu ditujukan, dirancang dan diproduksi dalam suatu basis budaya dan perhitungan ekonomi untuk konsumen dalam negerinya sendiri. Bila box office nasional tercapai, investasi produksi akan menguntungkan. Namun karena persaingan industry menuntut kreativitas, inovasi dan strategi yang baru terus menerus, maka terjadi peningkatan kualitas dan feature sehingga setiap Box Office nasional pasti menjadi Box Office Internasional. Pasar internasional adalah spill over market yang bisa memberi bonus besar, sekaligus menjadi wilayah ekspansi kultural yang secara konsisten membangun basis komunitas konsumen baru yang siap menerima produk budaya ikutannya.
Catatan lain yang penting adalah bahwa infrastuktur industri-industri tersebut juga telah terbangun dengan mapan. Sistem professional credential, sistem hubungan kerja, pendidikan keprofesian, sistem hokum dan HKI, sistem keagenan dan sistem keprofesian lain telah tertata. Lomba, festival, penghargaan dan sistem publikasi dan promosi serta sistem pewacanaan kritik teori dan dekumentasi sejarahnya juga sudah mapan. Hasil produk budaya, telah menjadi ranah studi budaya dan studi kemanusiaan yang tersistem dan terstruktur baik.
Sinergi industri kreatif untuk meningkatkan daya saing banyak kita lihat pada kasus-kasus lain. Buku Godfather (Mario Puzo), Jurassic Park (Machael Chricton), James Bond (Ian Fleming), Lord of The Ring (JRR Tolkien),dan Harry Potter (J.W. Rowling) tak akan masuk ke dalam daftar penjualan laris kalau tidak karena filmnya. Komik-komik superhero Marvel (Supermen, Batman, Spiderman, dsb) mempersiapkan basis konsumen potensial filmnya, yang pada gilirannya menjual komik-komiknya serta action figure dan berbagai merchandise lain. Spiderman 3 menduduki Box Office tertinggi di AS 2007. Karya-karya sastra klasik juga telah menjadi inspirasi untuk menjadi komik dan film. Karya Shakespeare (Romeo-Juliet, Midsumer Night Dream, dsb), Tolstoy (War and Peace), Hemingway (The Old man and the Sea, Farewell to arms), Pasternak (Doctor Zivago), Steinbeck (Grapes of Warth, of Mice and man), Tennessee William (A Streetcar named Desire), dan masih banyak lagi. Sinergi industry music-broadcast channel, acara reality show, penjualan CD dan piranti musik digital lain juga membangun komunitas fans dan groupies fanatic yang memperkuat dan memperluas basis pemasaran. Industri Media, Leisure and Entertainment menciptakan pop-cult dan selebritis dan idol, ikon dan diva yang dipuja dan dimimpikan oleh penggemarnya. Pada dasarnya, industri ini adalah industri penciptaan citra, fantasi, imajinasi dan mimpi-mimpi.
Industri-industri kreatif lain beroperasi secara khas dan masing-masing berbeda sesuai dengan kondisi sosio-kultural pada proses penciptaan dan pada proses transaksi pada konsumen atau penggunanya. Setiap jenis industri kreatif punya insfrastruktur yang khas dan sistem standar profesional yang tersendiri. Pada dasarnya, transaksi produk budaya yang terjadi bukan lagi transaksi bisnis tetapi transaksi kultural. Industri media leisure dan entertainment memang punya kekuatan besar untuk menjadi pendorong dan pencipta tren serta gaya hidup serta menyebarkan dan menanamkan tata nilai baik yang positif- konsruktif maupun negative destruktif terhadap tata nilai yang ada.
Bagaimana kita bisa menyaingi produk industri kreatif Barat yang punya kekuatan dan keunggulan serta telah diterima dan diapresiasi oleh masyarakat kita sendiri. Bagaimanakah kita bisa membangun kekuatan industri kreatif Indonesia untuk menandinginya? Seniman, desainer, sineas dan talenta industri berbasis seni di Indonesia telah lama berkiprah pada berbagai bidang seni di luar negeri. Mereka telah banyak melakukan upaya kreatif dan eksperimen heroic untuk menciptakan terobosan kreatif dan memasuki pasar global. Kita juga sudah banyak menyelenggarakan Festival Seni dan Event Internasional. Seniman kita banyak yang telah mendapat penghargaan internasional. Seperti banyak diungkapkan dalam seminar dan diskusi, kita punya warisan kekayaan budaya yang kaya dan seniman berbakat sehingga punya potensi untuk membangun kekuatan ekonomi kreatif.
Bapak, Ibu yang saya hormati
Pada 29 November yang baru lalu, para wakil 118 kraton dan lembaga adat (sebagian dari 216 kerajaan yang ada di nusantara) telah datang menghadap presiden dipimpin oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Mereka mengeluhkan bahwa akibat sistem politik, demokrasi dan undang-undang, kraton-kraton daerah telah tercerabut dari akar budayanya sendiri. Presiden kemudian meminta para raja dan lembaga adat untuk tetap menjaga warisan budaya dan membantu mengatasi masalah yang timbul, yaitu mengembangkan ekonomi kreatif dengan dasar warisan budaya. Dengan nasehat seperti itu, mungkin para raja dan pemangku adat itu akan tetap risau karena budaya yang tercerabut dari akarnya tersebut akan sukar ditanam kembali.
Suatu warisan budaya yang kaya tidak dengan serta merta dapat dijadikan bahan baku untuk menghasilkan produk budaya yang punya daya saing global. Setiap kegiatan industri yang dikategorikan sebagai industri kreatif di Indonesia, membutuhkan insfrastruktur pengembangan yang khas tergantung jenis industrinya. Sistem pendidikan, sistem standar profesi serta sistem hukum dan undang-undang menjadi komponen utama infrastruktur tersebut. Iklim industri nasional yang kondusif juga merupakan persyaratan bagi semua jenis industri, termasuk industri kreatif di Indonesia. Bagian penting dari sistem ini adalah sistem informasi, sistem distribusi dan pemasaran dan sistem penghargaan. Dalam suatu infrastruktur industri yang baik dan kondusif, terjadi persaingan yang sehat menuju kemakmuran bersama dan terjadi peningkatan produktivitas serta jaminan keberlangsungan profesi. Iklim ini meningkatkan daya kreasi dan daya inovasi dan pada gilirannya akan meningkatkan daya saing. Dalam sistem seperti ini, setiap sukses dan achievement yang dicapai seorang pelaku akan menjadi batu landasan yang bisa dipakai untuk meningkatkan sukses pelaku berikutnya. Regenerasi talenta bergerak terus menuju peningkatan mutu dan keunggulan kompetitif dan komparatif.
Kapan hal seperti itu bias tercapai ? Dalam peta jalan atau roadmap industri kreatif Indonesia yang disusun Departemen Perdagangan dinyatakan bahwa tahap pemantapan akan dilakukan 2008-2015 dan tahap akselerasi akan dilaksanakan 2015 – 2025. Apa benchmarking dan parameternya? Dari kriteria yang diisyaratkan tentang industri kreatif mungkin baru 2 hal yang kita yakin kita punya yaitu adanya talenta kreatif yang inovatif dan adanya warisan budaya yang kaya.
Kriteria yang lainnya (nilai tambah tinggi, daya saing global, eksploitasi HKI, pergunaan ICT secara optimal, peningkatan ekspor, menciptakan kemakmuran) belum sepenuhnya kita miliki. Di dalam perkembangan industri berbasis seni di Indonesia kita sering melihat fenomena jatuh bangun, seakan-akan semua harus mulai lagi dari nol. Film nasional kita sudah bangkit berkali-kali dan Laskar Pelangi dianggap awal dan kebangkitan baru. Sudah lebih dari 30 tahun film animasi dibuat di Indonesia tetapi belum pernah betul-betul menjadi industry penerbitan buku kita lebih dihidupkan oleh buku terjemahan dan usaha-usaha trobosan penerbit-penerbit kecil. Setiap jenis industri punya masalah sendiri-sendiri.
Mungkin, kita bias belajar dari pengalaman bangsa lain bahwa kemajuan industri mempersyaratkan landasan-landasan pengembangan yang dapat diandalkan. Yang pertama adalah iklim industri nasional itu sendiri (yang juga tergantung pada kondisi ekonomi dan politik nasional). Yang kedua adalah landasan budaya yang kuat dan daya beli yang cukup tinggi di negeri sendiri. Yang ketiga adalah infrastruktur industry dan profesi yang memadai dan yang terakhir komitmen dan jiwa wira usaha pelaku-pelakunya. Suatu iklim industry yang sehat akan menciptakan insentive driven economy yang dapat meningkatkan daya saing di pasar dalam negeri dan luar negeri.
Bapak, Ibu, hadirin yang terhormat.
Di atas semua itu mungkin kita juuga perlu meletakkan persoalan pengembangan industri kreatif ini di atas landasan pemikiran yang jelas tentang peran dan fungsi seni dalam masyarakat. Pengembangan seni seharusnya tidak hanya dilihat dari segi potensi ekonominya. Kegiatan seni dan berkesenian merupakan kegiatan kultural yang bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan suatu komunitas. Seni punya fungsi-fungsin kultural melembagakan kepekaan dan memperkuat identitas social suatu komunitas. Suatu peristiwa transaksi kultural dan mungkin spiritual. Kita semua merasa perlu mendengar musik, melihat pementasan, menonto film, membaca sastra dan melihat karya seni, karena kita ingin melengkapi pengalaman hidup kita dengan suatu ciptaan yang bisa memberi refleksi pada keberadaan kita. Kita peril seni untuk mengisi ruang-ruang budaya yang ada di sekitar kita dan di dalam hidup kita. Ciptaan seni tidak selalu harus adiluhung atau mencerahkan kalau karya seni bisa mengangkat dan mengekspresikan realitas suatu konteks kehidupan kita dalam bahasa dan bentuk yang dapat kita rasakan, maka karya tersebut sebetulnya sudah melakukan tugasnya.
Di dalam eksplorasi inovatif dan ekperimen kreatif seni, kita tidak perlu mengkaitkannya dengan suatu fungsi atau peran tertentu. Salah satu latihan dasar seni adalah olah rasa, baik menggunakan tubuh sendiri maupun memakai medium lain. Eksplorasi seperti inilah yang mungkin suatu saat melahirkan talenta kreatif dan inovatif yang memungkinkan dibangunnya suatu potensi ekonomi. Contoh kasus yang saya sampaikan tentang animasi AS dan Jepang memperlihatkan bahwa daya saing tersebut terbentuk karena komitmen seni yang tinggi, sinergi talenta yang kreatif dan inovatif dan penguasaan teknologi serta tata kelola produksi yang canggih dan berorientasi pada perkembangan budayanya sendiri. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya massa konsumen yang punya daya beli tinggi, serta infrastruktur keprofesian yang kondusif pada setiap jenis industrinya. Kekayaan warisan budaya memang faktor penting dan merupakan keunggulan, namun kekuatan semangat kreatif dan inovatif akan lebih berperan dalam menghadapi berbagai tantangan dan kendala dan dalam upaya terus beradaptasi dengan perubahan ekonomi dan perkembangan sosio-kultural yang terus berlangsung.
Bapak, Ibu, hadirin yang terhormat.
Permaslahan pengembangan industri kreatif sangat besar dan kompleks. Masalah ini tidak mungkin diatasi oleh para pelaku dan seniman, karena disamping masalah khas pada setiap kelompok industri banyak masalah kebijakan ekonomi da industri umum yang juga mempengaruhi industry kreatif. Para seniman pelaku bisa tetap mengembangkan segala potensi yang ada sebelum system makro yang kondusif itu terbangun. Mungkin, hal yang penting untuk dilakukan adalah pemetaan potensi yang lebih spesifik dan didasarkan pada realita yang ada pada setiap jenis kelompok industri atau kegiatan seni. Tidak semua seni punya potensi langsung menjadi kekuatan ekonomi kreatif dan mungkin saja ada seni-seni yang tetap perlu dikembangkan walaupun tidak punya potensi ekonomi kreatif, karena seni tersebut merupakan asset nasional yang dibutuhkan oleh masyarakat dan seni tersebut mengangkat citra, harkat dan martabat bangsa di forum seni internasional.
Ketua Senat, Anggota Senat, Para Undangan yang terhormat dan para Wisudawan yang berbahagia.
Dalam waktu terbatas, hanya inilah paparan yang dapat saya sampaikan. Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan dapat mendorong suatu pembahasan akademik yang lebih komprehensif dan bermanfaat bagi kita semua. Atas kesempatan ini, serta perhatian yang diberikan saya ucapkan terima kasih.