Dr. Otto Sidharta (Wisuda IKJ 2016)
Menyikapi Seni Urban
Dr. Otto Sidharta
Pidato Ilmiah dalam Wisuda IKJ Tahun 2016
Yang terhormat Ketua Yayasan Seni Budaya Jakarta.
Yang terhormat Rektor Institut Kesenian Jakarta serta para Wakil Rektor.
Yang terhormat Ketua dan Anggota Senat Akademik Institut Kesenian Jakarta.
Yang terhormat Pimpinan Akademi Jakarta, Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki, dan Dewan Kesenian Jakarta.
Yang terhormat para Dekan dan Wakil Dekan Institut Kesenian Jakarta.
Yang terhormat para Ketua dan Sekretaris Program Studi.
Yang terhormat para Dosen dan Sivitas Akademika Institut Kesenian Jakarta.
Yang terhormat Orang Tua dan Wali Wisudawan.
Yang terhormat para Ketua dan Pengurus Dewan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, dan Himpunan Mahasiswa Institut Kesenian Jakarta.
Yang terhormat para Undangan, para Mitra, dan Sahabat Institut Kesenian Jakarta.
(Diawali dengan mendengarkan potongan bunyi)
Bunyi yang baru saja kita dengar, apakah itu karya musik? Atau hanya sekadar bunyi, seperti bunyi yang selalu ada di sekeliling kita dan senantiasa mampir di telinga kita tanpa peduli kita suka atau tidak?
Setelah mengamati berbagai macam musik di dunia, John Cage, seorang komponis Amerika, menyatakan bahwa musik adalah bunyi dan keheningan yang disusun. Selain itu, ia juga membebaskan bunyi dari fungsi-fungsi musikal yang terkait dengan ketentuan-ketentuan musik yang berbeda pada di setiap jenis dan gaya musik dan kelompok masyarakat tertentu. Bunyi dilihat sebagai bunyi itu sendiri yang selalu ada di sekeliling kita tanpa dibeda-bedakan mana bunyi yang musikal dan mana yang tidak, sehingga pengertian konsonan dan disonan, harmonis dan disharmonis tidak dapat digunakan lagi.
Pembebasan bunyi dari asumsi-asumsi musikal ini ternyata sangat mempermudah kita untuk menikmati dan memahami musik-musik dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda yang tadinya terasa asing bagi telinga kita, dan tidak jarang berbenturan dengan kebenaran artistik yang kita yakini sebab persepsi musikal kita tidak lagi dibatasi oleh tradisi, tata cara, dan ketentuan-ketentuan musik yang terkait dengan latar belakang budaya kita.
Hal ini juga akan membebaskan kita dari penyeragaman dan penyederhanaan selera musikal kita yang dipaksakan oleh industrialis-kapitalis yang cenderung memaksakan bahwa pengertian musik itu hanya yang diatonik, mayor-minor, dan dalam bentuk-bentuk lazim lainnya.
Dewasa ini lebih dari setengah populasi dunia bermukim di perkotaan. Panorama bunyi di pedesaan dan perkotaan sangat jauh berbeda. Masyarakat urban mengalami pergeseran identitas budaya, bahasa, dan sosial. Dalam kerangka masyarakat perkotaan, identitas (bahasa, budaya, kelompok, konsep kehidupan perkotaan, dan lain-lain) bukan merupakan entitas yang tetap. Sebaliknya, batas-batas identitas terus dinegosiasikan dalam kebimbangan antara inklusivitas dan eksklusivitas, mayoritas dan minoritas. Karena itu, masyarakat perkotaan dihadapkan pada kebutuhan konstan untuk mengevaluasi kembali tradisi dalam identitas kedirian mereka; sementara modernitas juga dianggap telah melahirkan distorsi-distorsi baru di dalam hubungan sosial dan kemanusiaan.
Produk seni masyarakat urban merupakan seni yang seiring sejalan dengan perkembangan kota. Perkembangan tersebut melahirkan sistem kemasyarakatan yang secara struktur dan kultur berbeda dengan sistem masyarakat pedesaan. Heterogenitas warga kota banyak dipengaruhi oleh faktor geografis sebuah kota. Sebuah kota bukan hanya sebagai sebuah lanskap, tetapi juga sebagai ruang terbuka yang memungkinkan terjadinya dialektika pada warganya. Faktor ini mengakibatkan kota memiliki karakteristik dan penanda budaya yang berbeda dibandingkan kota dan tempat lainnya.
Ilustrasi oleh : Hafid Alibasyah, M.Sn. (Dosen Fakultas Seni Rupa – IKJ)
Produk seni masyarakat urban menggantikan fungsi seni yang sebelumnya selalu dipandang sebagai sesuatu yang agung, klasik, murni, tinggi, dan tradisional. Berkembang pemikiran yang menawarkan nilai-nilai baru menyangkut kesenian, yang memandang produk seni bukan lagi sebagai objek yang harus dipamerkan di galeri atau museum, ditonton di gedung pertunjukan atau dinikmati dalam format yang klasik. Kondisi dan sikap politik yang semakin terbuka telah memberi warna berbeda kepada kebudayaan massa. Kondisi-kondisi tersebut memicu tumbuhnya industri budaya yang banyak melahirkan budaya populer atau budaya pop.
Adorno dan Horkheimer melontarkan gagasan mengenai ”industri budaya” untuk menunjukkan bahwa kebudayaan kini saling berhubungan antara ekonomi politik dan produksi budaya yang dilakukan oleh korporasi. Menurut Adorno dan Horkheimer, produk budaya adalah komoditas yang dihasilkan oleh industri budaya yang seolah-olah demokratis, individualistis, dan beragam, tetapi kenyataannya otoriter, serba seragam, dan sangat terstandardisasikan. Industri budaya akan mengubah formasi nilai guna kepada sesuatu yang diproduksi oleh sistem kapitalis, yaitu mendudukkan dan menggunakan konsumen sebagai suatu komoditas. Industrialisasi melahirkan budaya massa, budaya ini menggugat kebenaran absolut pada masa modernisme, yang pada masa tersebut terjadi pengkotak-kotakan seni ke dalam high art dan low art.
Seni urban lahir karena adanya kegelisahan untuk merespons kreativitas masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dengan segala problematikanya. Oleh karena itu, muncul usaha dari sekelompok orang untuk menghadirkan seni di tengah-tengah masyarakat dengan cara melakukan ‘kebebasan berekspresi’ di ruang publik. Ekspresi yang ditampilkan adalah ekspresi yang mencoba memotret permasalahan-permasalahan yang terjadi dan kerap mendominasi masyarakat urban. Permasalahan ini mencakup aspek sosial, ekonomi, politik, dan juga budaya.
Produk seni masyarakat urban merupakan bentuk representasi permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang dihadapi masyarakat perkotaan dan merepresentasikan perbedaan sikap politik, anti kemapanan dan perlawanan terhadap sistem yang dominan di masyarakat.
Dalam perkembangannya, seni semakin dituntut untuk mampu merespons dan mengembangkan tradisi-tradisi baru sehingga dapat memangkas hubungan yang berjarak antara publik sebagai penikmat dengan sebuah karya seni yang dulu diposisikan sebagai sesuatu yang klasik dan sarat dengan nilai keagungan.
Terkait dengan itu, diperlukan suatu respons yang tajam serta keterbukaan yang memadai dalam menganalisis perubahan politik, ekonomi dari budaya global, transformasi kebudayaan di berbagai tempat di dunia yang mempengaruhi identitas suatu masyarakat, klaim atas politik etnisitas dan tuntutan bagi pluralisme kebudayaaan, yang semuanya mengarah pada wujud-wujud toleransi baru dan negosiasi baru.
Sebagai lembaga pendidikan seni yang terus-menerus mengembangkan wawasan dan pengetahuan serta merupakan lembaga pendidikan seni yang hidup di tengah hiruk-pikuk ruang kota, Institut Kesenian Jakarta sudah selayaknya dapat menghasilkan seniman dan pemikir seni yang mampu beradaptasi dengan segala identitas yang heterogen dengan segala problematikanya.
Berbicara tentang lembaga pendidikan seni kita ini dalam kaitan dengan pendapat yang ditawarkan komponis John Cage yang didiskusikan di atas, menurut pendapat saya, demi mengembangkan wawasan dan pengetahuan kesenian – dalam hal ini seni musik – yang mumpuni, Institut Kesenian Jakarta perlu terus mempertahankan pemikiran yang mengatakan bahwa bunyi yang dibebaskan dari fungsi-fungsi musikal sehingga bunyi bisa dilihat sebagai bunyi itu sendiri yang senantiasa ada di sekeliling kita tanpa membedakan mana bunyi yang musikal dan mana yang tidak. Pembebasan bunyi dari asumsi-asumsi musikal akan menghindarkan kita dari penyeragaman dan penyederhanaan selera musikal yang dipaksakan oleh pihak-pihak industrialis-kapitalis.
Tentu menjadi harapan kita bersama bahwa dengan lahirnya seniman dan pemikir seni dari Institut Kesenian Jakarta, kita akan meraih pembaruan dan kemajuan di bidang seni.
(Ditutup dengan memperdengarkan potongan bunyi)