Nan Triveni Achnas, Ph.D. (Wisuda IKJ 2019/2020)
“Kreativitas dan Pendidikan Seni:
Rekonfigurasi Proses Penciptaan”
– Nan Triveni Achnas, Ph.D.
Yang terhormat para hadirin sekalian
Dua dekade belakangan ini telah terjadi perkembangan menarik yang berlangsung dalam pendidikan seni pada level internasional, yaitu pentingnya kombinasi dan perpaduan theory/praxis yang harus dikuasai oleh seorang seniman lulusan perguruan tinggi seni.
Theory/praxis yang saya maksudkan adalah suatu proses di mana teori-teori seni dan juga teori di luar seni, teori ilmu-ilmu humaniora misalnya, dan praktek seni dijalankan.
Ketika saya mencari universitas di Amerika yang menawarkan program doktoral dengan mengkombinasikan unsur teori dan penciptaan, saat itu hanya segelintir saja perguruan tinggi di Amerika yang membuka program seni theory/praxis. Di Eropa jumlahnya jauh lebih banyak. Kemudian, dalam jangka waktu lima tahun terakhir ini, jumlah perguruan tinggi di dunia, yang telah membuka Program Pascasarjana – kombinasi riset, teori dan praktek – sudah berlipat ganda jumlahnya, termasuk di Amerika. Dengan demikian, struktur program studi berubah guna menyesuaikan disiplin ilmu yang menyangkut teori dan proses penciptaan.
Format penulisan akademis dan bentuk evaluasi karya seni juga ikut “berevolusi”.
Kenapa hal ini terjadi dan seniman seperti apa yang diharapkan muncul dari perpaduan riset dan praktek seni dari suatu perguruan tinggi?
Dalam disiplin ilmu yang saya geluti, film, seorang filmmaker dapat memanfaatkan implikasi dari pendekatan teoritis dengan praktek pembuatan film. Kemudian mengembangkan alternatif baru dan kemungkinan-kemungkinan dalam mendekati dan membayangkan kembali film-film yang akan diciptakan. Penelitian seperti ini menjadi penting untuk memberikan metodologi bagi para teoritisi film dan sineas Indonesia khususnya dan sinema dunia secara keseluruhan untuk mencari bentuk dan gaya naratif alternatif dalam film.
Ada yang mempertanyakan hubungan antara teori dan praktek dalam proses penciptaan film. Mahasiswa film dan calon pembuat film seharusnya mampu berkontribusi dan mengeksplorasi juga menantang norma naratif konvensional dan gaya dalam film yang ada selama ini. Seorang sineas sebaiknya menyadari pentingnya mengubah status quo dari proses penciptaan film dengan cara memikirkan kembali proses tersebut yang dilatarbelakangi dengan kerangka teoritis. Dikotomi theory/praxis yang dirancang “melebur” menjadi satu, dalam pendidikan film mencakup dan mendorong mahasiswa untuk dapat terlibat secara kritis dan kreatif. Serta bagaimana mereka mencari disiplin ilmu lain untuk memperkaya elemen konseptual dalam pembuatan sebuah karya.
Kontekstualisasi dan perpaduan karya kreatif ini dilakukan secara sadar dengan memediasi teori-teori seni dan juga ilmu pengetahuan lainnya dalam suatu proses kreatif. Bagi saya, seni tidak otonom, ia tidak berdiri sendiri dan hidup dalam ruang hampa. Karya seni adalah hasil dari pergulatan suatu situasi sosial budaya yang diserap oleh seniman dan dikemas menjadi sesuatu yang estetis. Ia adalah semacam endapan dari soal-soal kehidupan manusia yang hakiki, dan yang hakiki adalah kemanusiaan. Untuk itulah sensitivitas seniman perlu dipertajam, tentu caranya bisa bermacam-macam, tetapi dalam konteks perguruan tinggi, maka penguasaan terhadap teori-teori seni dan disiplin ilmu-ilmu lain bisa menjadi salah satu jalan, yang kemudian diintegrasikan dengan praktek seni. Bukankah tugas perguruan tinggi adalah mencetak manusia-manusia yang mampu memberikan kontribusinya pada masyarakat dan peradaban? Tak terkecuali bagi perguruan tinggi seni. Bagaimana seniman bisa menyerap,mempunyai sensitivitas tinggi dan mampu bicara persoalan-persoalan kehidupan jika ia tak dibekali dengan pengetahuan tentang kehidupan itu sendiri? Seni tidak hanya soal keindahan semata. L’Art Pour l’Art, seni untuk seni, bagi saya adalah jargon yang usang. Seni seharusnya mengabdi pada peradaban, kedamaian dan kemanusiaan. Integrasi teori dan praktek di perguruan tinggi seni seharusnya saling terkait satu sama lain. Secara umum, selama ini dalam kurikulum sekolah film, matakuliah teori film sering diajarkan sebagai elemen terpisah dengan proses pendidikan produksi film. Analisis kritis dilakukan setelah penyelesaian film dan pembingkaian konseptual film jarang masuk ke sisi pembuatan film. Mahasiswa film perlu diberikan manfaat program berbasis theory/praxis. Mereka diajak untuk berpikir di luar struktur naratif normatif film arus utama dan merangkul berbagai bentuk seni budaya yang melimpah dan tersedia dalam budaya Indonesia. Mahasiswa didorong untuk menemukan ragam bentuk sinematik yang menarik dan inovatif dan memikirkan kembali estetika sinematik yang “original”. Bentuk karya yang mempertanyakan, memprovokasi, dan menantang bentuk sinematik masa kini sangat penting bagi masa depan sinema.
Dengan kata lain, sebuah karya seni yang berhasil, baik itu karya film, karya seni rupa, teater, koreografi tari, komposisi musik, atau tulisan akademis, membutuhkan hubungan dan interaksi yang intensif antara teori dan praktik. Bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain dan keseimbangan antara dua unsur ini yang akan menghasilkan karya yang memiliki banyak lapisan arti.
Siapa pun yang membuat karya kreatif dan berangkat dengan pemikiran konseptual yang kuat, ia akan bisa menciptakan suatu pengaruh yang signifikan pada saat dilemparkan ke ruang publik. Dengan sendirinya terbentuklah reflektivitas diri yang menjadi syarat dalam proses penciptaan yang melengkapi lingkaran pengetahuan, mengaplikasian, perenungan dan kembali lagi ke proses penciptaan. Seorang ahli filsafat Amerika, Richard Sennett mengatakan, cara untuk melihat perbedaan antara karya seni yang berhasil dan yang tidak, sangat bergantung pada hubungan antara teori dan praktik.
Teori dan praktek artistik harusnya saling bertautan dan saling membentuk jaringan yang berkaitan untuk mengubah suatu landscape budaya. Setiap program pendidikan seni sebaiknya memiliki ambisi untuk menggunakan teori dan praktik yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Tentu ini bukan usaha yang mudah. Bagi saya, alangkah baiknya bagi perguruan tinggi seni untuk tidak hanya mengandalkan cara-cara yang telah dilakukan oleh para seniman yang sekedar bertumpu pada naluri dalam proses berkarya, yang tak peduli teori seni dan ilmu pengetahuan lainnya dan bahkan menganggapnya nonsense. Cara-cara demikian harus mulai kita tinggalkan.
Pencapaian theory/praxis di perguruan seni pada skala internasional tentu masih terus berevolusi. Saat ini, memang masih berada dalam fase eksperimental atau di tengah pencarian proporsi yang tepat. Penelitian mengenai theory/praxis ini telah banyak diterbitkan di jurnal-jurnal, buku, simposium dan lokakarya adalah bukti nyata dari situasi ini. Masa depan yang akan mengatakan apakah pendidikan seni Indonesia mampu menyerap, menerapkan, dan mengintegrasinya secara memadai antara teori dan praktik seni. Seperti yang sudah dilakukan oleh perguruan-perguruan tinggi seni di Eropa, Amerika, bahkan di negara terdekat kita, Singapura.
Saya teringat buku Fredric Jameson mengenai konsep cultural turn dalam sejarah. Biasanya sejarah politik dan ekonomi dilihat menggunakan pendekatan yang ortodoks seperti analisa data ekonomi dan literatur resmi negara (state papers). Menurut Jameson, bagaimana jika sejarah dilihat melalui bahasa-bahasa kebudayaan tertentu dan sistem-sistem representasi. Maka akan terjadi pergeseran paradigma dalam melihat sejarah dan kita akan melihat serta mendapatkan sesuatu yang lain, yaitu pergeseran penekanan ke arah makna. Begitupun dengan seni, jika proses kreatif penciptaan seni menggunakan paradigma baru, theory/praxis tentu juga akan mendapatkan sesuatu yang lain dalam pemaknaan, dan tentu juga berimplikasi terhadap penemuan-penemuan baru, baik secara bentuk maupun gaya dalam seni.
Perubahan dan pergeseran paradigma yang menyerap situasi sosial budaya masyarakat, dalam pendidikan di perguruan tinggi seni, menuntut seniman untuk dapat menginterpretasikan sistem pemaknaan dalam proses perubahan substantif dalam masyarakat. Untuk itulah theory/praxis dalam seni menemukan signifikansinya.
Sekian.
Jakarta, 16 Januari 2021