Prof. Dr. Teuku Jacob (Wisuda IKJ 2005)
Membangun Kembali Aceh : Tanah Kalam dan Hikayat
Prof. Dr. Teuku Jacob
Pidato Ilmiah dalam Wisuda IKJ Tahun 2005
Pengantar
Tsunami Besar pada akhir tahun 2004 telah memeranjatkan orang yang tinggal atau berada di Aceh, mempunyai hubungan dan kaitan dengan Aceh, bahkan membangkitkan rasa kemanusiaan seluruh dunia: takut dan empati. Air mata dan bantuan mengalir, sehingga mata kering dan bantuan tak terangkut. Dalam dukacita orang banyak, banyak orang yang mencari kesempatan untuk sukacita: menyingkap vista baru untuk rehabilitasi, rekonstruksi dan renovasi, yang akan membuka perbendaharaan negara dan lapangan kerja. Orang Aceh mengharapkan berakhirnya mimpi buruk yang berkepanjangan dan terbentangnya langit baru yang cerah.
Penghunian Aceh
Acèh Lhèe Sagoe, tanah yang berbentuk segitiga, di ujung utara pulau Perca (Sumatera), sudah didiami manusia sekurang-kurangnya sejak Zaman Batu Tengah (Mesolitik). Dalam bukit-bukit kerang di Aceh Timur dan Tamiang ditemukan alat-alat batu yang khas, Sumatralit (kapak genggam) yang dibuat dari batu sungai, dengan olahan pada satu sisi; terdapat juga alu dan lesung, batu giling dan lain-lain. Tengkorak manusia diberi hematit, bentuk kepalanya lonjong, berciri Australomelanesid, badannya agak pendek. Panjang umurnya (umur mati rata-rata) sekitar 30–35 tahun.
Populasi awal yang mendiami Aceh ini tergolong ras Australomelanesid seperti di banyak tempat lain di Asia Tenggara. Sekitar Neolitik mulai terjadi per-gantian dengan subras Malayo-Indonesid yang tergolong ke dalam Monggolid Selatan. Mereka diduga bertutur dalam rumpun bahasa Malayo-Polinesia golongan Barat.
Rasial juga ada pengaruh India (Benggala, Drawida), Singgala, Parsi dan Arab, Turki, serta pengaruh Eropid dan Negrid. Jadi tidak heran kalau kita lihat ada unsur-unsur Monggolid, Indid, Dravidid, Orientalid, Armenid dan Europid di Aceh, yang masih dapat diusut kantong-kantongnya. Kalau kita perhatikan penduduk sekarang, tampak ada persamaan dengan Sumatera Timur dan Barat, Semenanjung Melayu, Siam (Thai), Kambodia, Bangladesh, India, Sri Lanka, dan Pakistan. Hubungan dengan Sakai, Orang Asli Malaysia (Senoi, Semang) dan Andaman-Nikobar tidak begitu mencolok.
Hewan-hewan Khusus
Aceh masih mempunyai banyak hewan, yang perlu perlindungan karena terancam punah, seperti gajah, harimau, badak dan beruang madu. Primates (pramonyet, monyet, kera dan manusia) ada 6 famili, suatu hal yang khusus. Pukang (kukang) masih terdapat. Lebih lanjut terdapat bue (kera, monyet ekor panjang), beruk (ungka, eungkong), butin, reungkah, weuek (wauwau), mawas (mawaih, Pongo), lutung, imbèe (himbai, siamang), Tarsius dan Lemur tidak terdapat. Selain itu ada terdapat buaya sungai, penyu sungai dan lumba-lumba sungai.
Kerusakan oleh Gempa–Tsunami
Melihat peta dan kronik bencana alam yang termasuk tidak meng-khawatirkan, tidak heran kalau banyak orang tidak mengingat akan bela-bencana, petaka dan malapetaka yang jauh lebih besar. Gempa bumi skala besar yang diikuti tsunami pada hari Ahad 26 Desember 2004 sangat mengejut-kan rakyat, sehingga banyak yang panik melihat gelombang tinggi dari laut naik ke darat dan menyapu rata hasil karya manusia yang bertahun-tahun.
Kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa dan tsunami pada Hari Natal kedua 2004 sangat luas, dahsyat dan meliputi berbagai aspek :
- Pertama adalah kerusakan demografis dan kemanusiaan. Penduduk banyak yang meninggal atau hilang, bahkan ada kota yang 80% penduduknya menjadi korban. Kemanusiaan juga menderita: keluarga kehilangan anggota-nya, tercerai-berai, harta-bendanya hilang dan rumahnya lenyap.
- Kerusakan ekologis dan geografis. Tsunami menghantam pantai dan di pantai barat batas darat-laut bergeser ke timur, lalu menjalar ke Asia-Selatan dan Afrika Timur.
- Kerusakan sosiokultural. Jaringan sosial terkoyak-koyak, terutama pengangkutan, permukiman, komunikasi dan informasi, pelayanan kesehatan, pendidikan, peribadatan, produksi dan distribusi, birokrasi, dan rekreasi.
- Solidaritas timbul pada awal bencana (tahapan kritis), kemudian menurun, seperti biasa terjadi dalam bencana.
Kekurangan yang Preexisten
Dalam usaha mengatasi bencana terasa ada kekurangan-kekurangan dalam masyarakat yang sudah lebih dahulu ada dan tidak diperhatikan, misalnya :
- Kurangnya jalan alternatif, jalan lintang (Barat–Timur), jalan ke pedalaman,pelabuhan, variasi alat angkutan dan jalan raya (jalan antara propinsi, antara kabupaten dan antara kota). Pantai barat seperti terisolasi dari ibukota dan pantai timur.
- Kurangnya saluran informasi seperti koran, TV dan telekomunikasi.
- Tidak adanya atau berfunksinya badan-badan untuk menghadapi bencana dan pengetahuan tentang bencana (SAR, PPPK, kedokteran bencana, pemadam kebakaran, penjaga pantai, petugas pada hari libur, perawatan darurat, perlengkapan bencana dan lain-lain).
- Pelayaran pantai dan pulau-pulau sekitar, penerbangan perintis ke kota-kota kecil seperti Takéngon, Kutacanè, Meulaboh, Bireuen, dan Langsa. Jalan keretaapi yang dibongkar dulu tidak diganti dengan yang modern. Perlu ada perhubungan dengan Malaysia, Thai, Singapura, Andaman, Nikobar, dan Sri Lanka.
Pembangunan Kembali
Rekonstruksi Aceh harus memperhatikan :
- Mengisi kekurangan-kekurangan dahulu, jadi membangun segala sesuatu yang sudah ada, tetapi rusak;
- Membangun sesuatu yang baru, yang membuat Aceh tidak ketinggalan dan yang bertahan sampai 10-15 tahun;
- Membangun sesuatu yang khas dibutuhkan oleh masyarakat Aceh.
Aspek-aspek yang harus dibangun adalah : demografis : repopulasi daerah yang menjadi kosong karena korban yang besar, serta populasi daerah-daerah yang kosong dan perlu dimanfaatkan; memulihkan kembali trauma psikologis, sosial dan ekonomis; mengamankan daerah Aceh dari kerusuhan yang mengganggu kemajuan dan dari ancaman bencana alam yang frekuensinya tinggi. Dalam hal ini tidak perlu dibangun khusus pertahanan terhadap tsunami, kecuali sistem deteksi dan peringatan dini di Samudera Hindia atau dikaitkan dengan pusat di Pasifik.
- Membebaskan Aceh dari ketertinggalan dalam pendidikan, informasi, transpor dan komunikasi serta prasarana untuk kemajuan.
Beberapa bidang pembangunan perlu mendapat perhatian khusus :
- jaringan lalu-lintas;
- pembangunan kabupaten dan kota:
- urbisas
- arsitektur
- kebutuhan urban;
- pendidikan;
- industri;
- pengelolaan ruang;
- pelestarian budaya.
Hal-hal diatas dapat diuraikan panjang lebar.
Penutup
Sistem bumi harus kita lestarikan, karena di situlah kita hidup. Manusia dapat mengubah dan merusak sistem itu, demikian pula alam sendiri dalam rangka evolusinya. Keempat sistem alam, baik yang padat (litosfer), yang cair (hidrosfer), yang berupa gas (atmosfer), maupun yang hidup (biosfer), dapat terganggu sewaktu-waktu (rusak, tercemar) dan harus kita benahi kembali. Usaha-usaha pencegahan perlu dilakukan, misalnya gedung tahan gempa (antiseismik), gelombang pasang dan air bah, angin ribut, gempa bawah laut. Rekonstruksi merupakan usaha multidisipliner yang menuntut ketangguhan, kejujuran dan kearifan. Harus diingat bahwa di masa depan akan kita hadapi bencana teknologis pula, yang bersifat antropogen (disebabkan oleh manusia). Risiko ini tidak kurang dahsyatnya daripada bencana alam.
Pembangunan, termasuk pembangunan kembali, haruslah terpusat pada manusia (man-centered), baru kemudian pada pembangunan lingkungan. Pembangunan kebudayaan tidak lain daripada meningkatkan daya adaptasi manusia terhadap lingkungannya dengan mengolahnya, mengubahnya dan melestarikannya. Satu prinsip harus dipegang teguh, yaitu prinsip kehati-hatian, karena manusia, lingkungan dan budaya bertaut dan berinteraksi dengan erat dan intensif. Untuk berhasilnya pembangunan, dasar kejujuran memegang peranan penting, — dan kalau syari’ah mau dijalankan dengan konsekuen, maka korupsi dana pembangunan untuk kepentingan bersama haruslah dianggap dosa yang sangat besar.