Hartanto, M.Sn. (Wisuda IKJ 2012)
Menuju Sinema Indonesia Berlandaskan Pendidikan Karakter Ekonomi Kerakyatan dan Profesionalisme
Hartanto, M.Sn.
Pidato Ilmiah dalam Wisuda IKJ Tahun 2012
Para hadirin yang terhormat,
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Salam Sejahtera untuk kita semua.
Sebelum kita memasuki substansi permasalahan yang ada dalam topik bahasan ini marilah kita mengingat kembali beberapa peristiwa, fakta dan data yang akan membawa kita pada strategi pengembangan Sinema Indonesia sebagai bagian dari pembangunan bangsa.
- Salah satu pasal pada Ketetapan MPRS tahun 1960 menyatakan : “film bukanlah semata-mata barang dagangan, tapi juga merupakan alat pendidikan dan penerangan”. Sepintas ungkapan ini nampak indah, tetapi kalau kita cermati justru merupakan sebuah vonis yang memposisikan bahwa film pada dasarnya barang dagangan. Karena itulah kita maklumi bahwa sepanjang sejarah perfilman di negeri ini kepemilikan dunia film kita di dominasi oleh para “saudagar film”, baik saudagar yang memproduksi film, mengimport film, menguasai tata edar dan eksibisi film.
- Selama puluhan tahun distribusi dan eksibisi film di negeri ini dikuasai oleh grup/jaringan bioskop 21 (dan XXI), hanya ada sedikit bioskop diluar itu, yaitu bioskop non grup 21 dan jaringan Blitz Megaplex. Pada kenyataannya karena film sudah “ditetapkan sebagai barang dagangan” maka setiap film diperlakukan sebagai sebuah produk, bukan sebagai sebuah karya cipta. Jadi pertimbangan untuk memutar sebuah film di bioskop selalu didasarkan pada aspek ekonomi semata. Akibatnya hanya film-film yang merupakan produk komersial sajalah yang bisa diputar di jaringan bioskop 21, tidak peduli apakah film tersebut memberikan pengaruh negatif kepada masyarakat penonton film atau tidak.
- Kepemilikan film di negeri ini juga dikuasai oleh para politisi film yang mendominasi setiap regulasi dan kebijakan perfilman di negeri ini. Kalau kita bicara tentang siapa yang memiliki perfilman Indonesia, maka sangat jelas bahwa pemiliknya adalah para “saudagar film” dan para “politisi film”. Ketika publik selalu mengharapkan keberagaman konten film di negeri ini, maka harapan itu tidak pernah terwujud karena kepemilikan selalu berada di tangan para saudagar dan politisi perfilman kita. Ada satu kesadaran yang kemudian muncul bahwa tidak akan mungkin terjadi keberagaman konten film tanpa disertai keberagaman kepemilikan, “diversity of content” tidak mungkin terjadi tanpa adanya “diversity of ownership”
- “Kegilaan” membuat film telah tumbuh subur di berbagai kalangan, mulai dari kalangan mahasiswa hingga pelajar dan umum. Komunitas film telah berkembang pesat di berbagai daerah, festival-festival film pendek dan film-film alternatif selalu dibanjiri peserta. Banyak muncul karya-karya film yang secara tematis dan gaya bertutur mengejutkan, meskipun pada umumnya masih harus ditingkatkan struktur dan gaya sinematiknya. Tetapi yang menggembirakan adalah semakin maraknya kegiatan membuat film di kalangan pelajar, mulai dari tingkat SD hingga SMA. Festival Film Pelajar yang diadakan di Jakarta dan berbagai daerah seperti Jogjakarta, Purbalingga, Bandung, Sukabumi, Surabaya, Medan selalu dibanjiri peserta pelajar dari seluruh Indonesia.
- Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (dulu Diknas) yang menetapkan rasio antara sekolah menengah umum (SMA) dengan sekolah menengah kejuruan (SMK) menjadi 30 : 70 telah mendorong pertumbuhan SMK secara mengejutkan. Khusus untuk SMK yang berada di ranah media, menurut data Direktorat Pembinaan SMK Kementerian Dikbud, saat ini ada 1151 SMK yang memiliki jurusan Multi Media, 46 SMK memiliki jurusan Penyiaran, 48 SMK memiliki jurusan Animasi.
- Sebagai media informasi televisi memiliki kekuatan yang dahsyat, tetapi sebagai media pembinaan karakter masih perlu dipertanyakan efektifitasnya. Pembinaan karakter di televisi banyak dilakukan melalui program fiksi, film seri misalnya. Tetapi karena banyaknya gangguan sewaktu menonton film seri, maka tingkat penetrasi dan efektifitasnya rendah sehingga mengganggu penyampaian isi dan pesan. Selain itu pesan moral pada film seri biasanya disampaikan pada akhir serialnya sehingga setiap episode belum terkandung pesan moral. Berbeda dengan film bioskop, penonton film di bioskop dikondisikan berada pada ruang dan suasana filmis sehingga terlibat sepenuhnya secara emosional dan rasional. Cerita dan pesan moral sangat efektif sampai pada penonton. Artinya film bioskop (pada saat diputar di bioskop) memiliki daya penetrasi yang lebih kuat sebagai sarana pendidikan karakter.
- Dari sekitar 50 film Indonesia produksi tahun 2012, keterlibatan alumnus Fakultas Film dan Televisi IKJ cukup tinggi. Faktanya alumnus menjadi sutradara dari 9 film, penulis skenario 7 film, sinematografer 5 film, editor 19 film, penata suara 28 film. Secara kualitas, kreasi dan hasil kerja alumnus FFTV-IKJ pada film-film tersebut bisa dibedakan dengan film-film lain yang tidak digarap oleh alumnus FFTV-IKJ. Pada umumnya pada sisi teknik, estetik dan ketrampilan penyutradaraan, film-film garapan alumnus FFTV-IKJ memiliki kelebihan dibandingkan film-film yang bukan garapan alumnus FFTV-IKJ.
Para hadirin yang terhormat,
Pendidikan Karakter telah menjadi “komoditi” yang laku keras untuk dibicarakan, di wacanakan, di seminarkan dan di proyek-kan. Tetapi pelaksanaan dan penerapannya tidak cukup mengemuka. Pendidikan karakter semestinya diarahkan untuk menciptakan keselarasan antara ketrampilan hidup (life skill) dengan gaya hidup (life style) sehingga tercapai kualitas hidup (life quality) yang tinggi. Ketidakselarasan antara ketrampilan hidup dengan gaya hidup akan menurunkan kualitas hidup. Tingkat kualitas hidup yang rendah akan mengarahkan seseorang pada karakter yang negatif.
Ada konsep pendidikan yang sederhana dan tidak sulit untuk dilaksanakan, yaitu menggali kembali secara lengkap semboyan pendidikan Ki Hajar Dewantara, ing ngarso sung tulodo – ing madyo mangun karso – tut wuri handayani. Logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya mencantumkan tut wuri handayani. Meskipun hanya logo tapi nampaknya secara tidak langsung memberikan sugesti pada arah strategi pendidikan kita. Seharusnya pendidikan tidak hanya cukup dengan tut wuri handayani. Ing ngarso sung tulodo – ing madyo mangun karso merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan – tut wuri handayani. Pada kenyataannya saat ini terjadi krisis keteladanan. Ketika siswa atau anak muda ditanya siapa yang pantas diteladani, pada umumnya mereka kebingungan. Media terutama televisi komersial karena sifatnya yang atraktif dan terus menerus, telah menciptakan idola-idola yang menjadi “teladan” bagi siswa dan anak muda. Idola ciptaan televisi komersial di dominasi oleh tokoh-tokoh selebriti, lengkap dengan kehidupan pribadinya yang lebih banyak nilai negatifnya di banding nilai edukasinya. Padahal idealnya keteladanan dimulai dari orang tua dan guru. Orangtua seringkali karena kesibukannya, memiliki kualitas hidup rendah sehingga tidak mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya. Guru yang sering di artikan di gugu dan di tiru (dituruti dan di teladani) pada umumnya juga tidak memberikan sikap-sikap keteladanan bagi siswa-siswanya.
Para hadirin yang terhormat,
Ide untuk mengembangkan sebuah gerakan yang memperjuangkan agar kita tidak selalu berada dibawah bayang-bayang kapitalisasi dan komersialisasi media, sudah sejak lama muncul dalam pemikiran beberapa praktisi televisi dan kreator film. Televisi Publik Lokal dan Komunitas menjadi salah satu bentuk perjuangannya, tetapi karena tidak adanya keberpihakan dari eksekutif dan legislatif terhadap keberagaman kepemilikan media, maka kedua jenis lembaga penyiaran ini dikerdilkan secara politik, ekonomi dan teknologi.
Beberapa kreator film yang merasa tidak nyaman karena selalu dibawah bayang-bayang kapitalisasi dan komersialisasi media, pada awalnya merencanakan Art Cinema, sebuah jaringan bioskop digital di daerah-daerah. Atribut Art Cinema dirasa terlalu berat bebannya. Ada wacana menggunakan atribut lain yaitu : Alternative Cinema, tetapi istilah ini ternyata telah dipakai di dunia internasional sebagai ranah pertunjukan film yang bersifat non profit. Dan juga ada pengertian lain, Alternatif Cinemaditujukan pada film-film yang ekstrim, yaitu violence yang ekstrim, seks yang ekstrim, horor yang ekstrim. .
Akhirnya muncul wacana menggunakan atribut SINEMA MANDIRI. Sinema Mandiri bukan hanya menyiapkan ruang-ruang eksibisi (bioskop) tetapi merupakan gerakan terpadu antara EKSIBISI, PRODUKSI, dan PENDIDIKAN. Sinema Mandiri akan dikembangkan di berbagai daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan kegiatan perfilman. Perlu diberikan catatan, Sinema Mandiri bukan ditujukan untuk memasuki ranah main stream dan juga bukan dimaksudkan untuk menggantikan kegiatan eksibisi film-film pendek yang selama ini sudah eksis. Sinema Mandiri merupakan sebuah jalur baru yang berada diantara jalur main stream dan jalur eksibisi film-film pendek. Sinema Mandiri diharapkan mampu memecahkan masalah utama perfilman di negeri ini, yaitu masalah distribusi dan eksibisi. Film Indonesia selalu menjadi tamu yang tidak terhormat dalam jalur eksibisi main stream.
Banyak film Indonesia yang cukup serius melakukan eksplorasi tema, cukup kandungan nilai edukasi yang berupa pesan moral, inspirasi, keteladanan dan motivasi. Tetapi film-film tersebut tidak sampai ke sasaran penonton karena hanya menjadi tamu tidak terhormat di bioskop-bioskop 21. Dan masalah yang lebih utama adalah ketiadaan bioskop di daerah-daerah yang tidak ada mallnya, yaitu kota-kota kecil dan kota kabupaten. Sehingga bisa dimaklumi banyak siswa-siswa usia 17 tahun kebawah seumur hidupnya belum pernah nonton film di bioskop.
Kalau di ibaratkan eksibisi film adalah panggung, maka di negeri ini hanya ada 2 jenis panggung, panggung yang tinggi dengan hiasan yang mewah dan atraktif dimana yang berhak naik panggung hanyalah mereka yang menggunakan atribut kemewahan, inilah panggung 21, XXI dan Blitz Megaplex. Di sisi lain ada panggung “lesehan” yang menjadi ajang eksibisi komunitas-komunitas film pendek dan film alternatif, yang seringkali bersifat temporer. Sinema Mandiri ingin menciptakan sebuah panggung baru yang rendah tetapi luas dengan hiasan sederhana, sehingga bisa menampung lebih banyak kreasi dari kreator-kreator film kita.
Para hadirin yang terhormat,
Bisa di duga, diruang sidang Senat ini tidak banyak yang mengetahui bahwa tahun 2012 ini adalah tahun koperasi Internasional. Koperasi memang terasa kurang menjadi perhatian eksekutif di negeri ini. Padahal di negeri kapitalis seperti Amerika Serikat 25% warganya menjadi anggota koperasi. Koperasi di bidang media merupakan salah satu perwujudan dari ekonomi kerakyatan yang diharapkan mampu mengimbangi penguasaan media secara mutlak oleh para kapitalis. Karena itulah alternatif pengembangan sinema di negeri ini akan diwadahi oleh koperasi, Koperasi Sinema Mandiri (KSM)
KSM di Jakarta dan daerah akan memiliki tiga kegiatan utama eksibisi (bioskop), produksi dan pendidikan. Film-film hasil produksi KSM-KSM tidak hanya di putar di bioskop masing-masing, tetapi akan di edarkan dan diputar di daerah-daerah yang memiliki bioskop KSM. Dengan demikian film yang diproduksi oleh sebuah KSM, akan memberikan pendapatan yang layak bagi KSM masing-masing. Besar kecilnya pendapatan sangat tergantung dari tingkat aktifitas anggota KSM.
Ruang gerak KSM-KSM adalah :
- EKSIBISI
Mengembangkan bioskop dengan menggunakan teknologi digital kelas MID-END. sebuah sistem bioskop digital yang menggunakan proyektor dengan resolusi sedang, yaitu sudah tergolong pada teknologi HD (1920×1080) dengan resolusi setara Blu-ray. Proyektor yang digunakan kelas menengah berkapasitas 4000–7000 ANSI Lumens. Kapasitas Penonton antara 30-60 orang. Sistem produksinya menggunakan kamera mid end
- PRODUKSI
Mendorong insan film diberbagai daerah untuk memproduksi film-film yang memberikan manfaat, inspirasi dn keteladanan kepada publik/masyarakat. Basis teknologi produksinya adalah Mid-end. Dikembangkan terutama di daerah yang memiliki kegiatan kreasi film, dikoordinasikan oleh penggiat film, dosen-dosen dan mahasiswa Perguruan Tinggi, guru-guru SMK jurusan Film/TV, Multi Media dan Animasi. Daerah yang sudah nampak potensinya : Bandung, Sukabumi, Cimahi, Jogja, Malang, Semarang, Magelang, Surabaya, Padangpanjang, Medan. Dalam produksi ini kita akan memberikan arah pada warna dan kualitas film-film yang dihasilkan, yaitu film-film yang dilandasi nilai-nilai kemanusiaan yang membumi, searah dengan cita-cita Pendidikan Nasional, “mencerdaskan kehidupan bangsa” dilaksanakan dengan semboyan pendidikan Ki Hadjar Dewantara :- Ing ngarso sung tuladadi depan memberikan keteladanan- Ing madyo mangun karso
terlibat langsung membangun niat dan kehendak
- Tut Wuri Handayani.
dari belakang memberikan dorongan
Perlu ditekankan bahwa produksi film disini bukanlah produksi film dalam ukuran industri film main stream yang menelan biaya miliaran rupiah. Dengan teknologi digital dan dengan pendekatan komunitas, biaya produksi bisa ditekan seminim mungkin. Adapun film yang di produksi adalah :
- film cerita panjang (full length feature)
- film omnibus/film antologi (gabungan beberapa judul film pendek yang di ikat oleh tema yang selaras)
- film dokumenter untuk bioskop (theatrical documentary).
Durasi film memang harus disesuaikan dengan durasi standar pertunjukan film di bioskop, yang rata-rata 90 menit. Ini perlu di taati karena kemungkinan film-film produksi Sinema Mandiri juga akan diputar di jaringan bioskop lain di negeri ini atau bahkan jaringan bioskop internasional. Keberlangsungan KSM dalam produksi dan eksibisi sangat tergantung dari jumlah bioskop KSM, minimal dibutuhkan 20 bioskop KSM di seluruh Indonesia. Jumlah optimalnya 40 bioskop, sedangkan jumlah idealnya 80 bioskop KSM.
- PENDIDIKAN
Ada beberapa kategori pendidikan film disini :- Pendidikan/pelatihan untuk calon-calon kreator film di berbagai daerah yang akan menjadi sumberdaya kreatif dan teknik produksi film untuk mengisi bioskop Sinema Mandiri.
- Pelatihan untuk masyarakat umum yang akan menggunakan film sesuai dengan bidang kerjanya (misalnya guru, penyuluh pertanian, petugas Humas dll).
- Ekstra Kurikuler atau muatan lokal di sekolah-sekolah, mulai dari SD hingga SMA. Disini kita akan kembangkan pemahaman bahwa membuat film bukan semata-mata gengsi, tetapi merupakan sebuah pengalaman untuk belajar tentang kehidupan, karena setiap langkah dalam membuat film merupakan pembelajaran dan penerapan nilai-nilai kemanusiaan.
Saat ini Koperasi Sinema Mandiri sudah tidak lagi dalam tahapan embrional, tetapi sudah berada pada tahapan inkubasi. Koperasi Sinema Mandiri Jakarta, Magelang dan Jogja sudah didirikan, segera menyusul Sukabumi dan Batu. Bahkan di Sukabumi sudah dilakukan uji coba bioskop “Sukabumi Sinema Mandiri”. Respon dari berbagai daerah sangat baik, yang pada umumnya memahami pentingnya wadah koperasi dalam pengembangan Sinema Indonesia.
Para hadirin yang terhormat,
Pengembangan Sinema Indonesia yang berlandaskan pendidikan karakter dan ekonomi kerakyatan memerlukan landasan yang ketiga untuk menjaga kualitas dan keberlangsungannya, yaitu profesionalisme. Di sinilah peran lembaga pendidikan film menjadi andalan. Institut Kesenian Jakarta memiliki peluang untuk menjadi motivator utama, dengan didukung oleh lembaga pendidikan film yang lain.
Dengan demikian Koperasi Sinema Mandiri seluruh Indonesia bersama dengan Institut Kesenian Jakarta, akan menjadi wahana utama menuju Sinema Indonesia yang kita cita-citakan, Sinema Indonesia yang berlandaskan pendidikan karakter, ekonomi kerakyatan dan profesionalisme..
Semoga.
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh